Jumat 17 Apr 2020 16:03 WIB

Realisasi Belanja Negara Hanya Tumbuh 0,1 Persen

Belanja pemerintah pusat tercatat sebesar Rp 277,9 triliun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa realisasi belanja negara sejak Januari hingga Maret 2020 mencapai Rp 452,4 triliun atau 17,8 persen dari target APBN yaitu Rp 2.540,4 triliun. Belanja negara tersebut hanya tumbuh 0,1 persen dibandingkan periode sama pada 2019 yaitu Rp 452,1 triliun.
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa realisasi belanja negara sejak Januari hingga Maret 2020 mencapai Rp 452,4 triliun atau 17,8 persen dari target APBN yaitu Rp 2.540,4 triliun. Belanja negara tersebut hanya tumbuh 0,1 persen dibandingkan periode sama pada 2019 yaitu Rp 452,1 triliun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa realisasi belanja negara sejak Januari hingga Maret 2020 mencapai Rp 452,4 triliun atau 17,8 persen dari target APBN yaitu Rp 2.540,4 triliun. Belanja negara tersebut hanya tumbuh 0,1 persen dibandingkan periode sama pada 2019 yaitu Rp 452,1 triliun.

“Kalau kita lihat posisi sampai 31 Maret dari sisi belanja negara terlihat hanya tumbuh 0,1 persen karena beberapa hal,” katanya dalam konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Jumat (17/4).

Baca Juga

Realisasi belanja negara tersebut terdiri dari realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp 277,9 triliun atau tumbuh 6,6 persen dari periode sama 2019 yakni Rp 260,7 triliun, dan 16,5 persen dari target APBN Rp 1.683,5 triliun. Kemudian, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp 174,5 triliun yang terkontraksi 8,8 persen dibandingkan periode yang sama 2019 yakni Rp 191,3 triliun dan 20,4 persen dari pagu APBN Rp 856,9 triliun.

Belanja pemerintah pusat sendiri ditunjang oleh belanja kementerian dan lembaga (K/L) Rp 143 triliun atau tumbuh 11 persen dibanding Maret 2019. Belanja ini terdiri dari belanja pegawai Rp 48,6 triliun, belanja barang Rp 35,2 triliun, belanja modal Rp 12 triliun, dan bantuan sosial Rp 47,2 triliun.

Sri Mulyani menyatakan meski realisasi belanja modal Rp 12 triliun naik 32,1 persen dari Maret 2019, namun ke depannya diperkirakan akan mengalami perlambatan karena ada wabah Covid-19.

“Belanja modal tahun ini ini memang direncanakan lebih tinggi dari tahun sebelumnya, namun karena Covid-19 maka prioritas ditujukan kepada kesehatan, bansos, serta pemulihan ekonomi,” katanya.

Realisasi belanja pegawai meningkat delapan persen karena kenaikan pangkat dan golongan, kebijakan kenaikan gaji pokok tahun 2019 yang menjadi baseline pada 2020, pembayaran tunjangan guru dan tenaga pendidik non PNS di Kemenag, serta pembayaran TPG Non PNS untuk guru TK/TLB, guru Dikdas, dan guru Dikmen Kemendikbud.

Belanja bansos Rp 47,2 meningkat 27,6 persen karena adanya bantuan iuran PBI JKN oleh Kemenkes yakni kenaikan tarif 2020 dan penarikan iuran PBI hingga Mei serta bantuan pangan melalui Kartu Sembako oleh Kemensos yaitu kenaikan indeks bantuan pangan dari Rp110 ribu per KPM/bulan menjadi Rp200 ribu per KPM/bulan.

Lebih lanjut, belanja pemerintah pusat juga ditunjang oleh belanja non-Kementerian/Lembaga (K/L) mencapai Rp 134,9 triliun atau tumbuh 2,2 persen dari periode sama tahun lalu yang terdiri dari pembayaran bunga piutang Rp 73,8 triliun, subsidi Rp 18,7 triliun.

Sementara untuk realisasi TKDD Rp 174,5 triliun secara rinci terdiri dari realisasi transfer ke daerah Rp 167,3 triliun atau terkontraksi 7,7 persen dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 181,2 triliun dan dana desa Rp 7,2 triliun atau terkontraksi 28,6 persen dari periode sama tahun lalu yakni Rp 10,1 triliun.

Transfer ke daerah jika dirinci terdiri dari DBH Rp 12,3 triliun terkontraksi 38,4 persen, DAU Rp 130 triliun yang terkontraksi 6,1 persen, DAK Non-Fisik Rp 24,8 triliun atau tumbuh 40,4 persen, serta Dana Otsus dan Dana Keistimewaan DIY Rp 200 miliar.

Sri Mulyani menyatakan terdapat beberapa hal krusial pada Maret 2020 untuk menangani pandemi Covid-19 yaitu refocusing 25 persen DTU untuk infrastruktur dan DBH CHT, relaksasi penyaluran BOK, refocusing dan realokasi DAK Fisik Kesehatan, serta penghentian seluruh proses pengadaan DAK Fisik di luar bidang pendidikan dan kesehatan.

“Beberapa daerah memang mengalami penurunan PAD jadi membutuhkan DBH untuk dibayarkan, namun itu terjadi di semua daerah dan kita akan melakukan sesuai peraturan perundang-undangan melalui percepatan,” katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement