Selasa 21 Apr 2020 20:48 WIB

Vonis Hukuman Mati di Indonesia Meningkat

Sejumlah keputusan pengadilan tetap menerapkan hukuman pidana mati.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Ilustrasi Hukuman Mati
Foto: MGIT4
Ilustrasi Hukuman Mati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - - Vonis hukuman mati di Indonesia meningkat dalam setahun terakhir. Meskipun pemerintah saat ini melakukan moratorium eksekusi, akan tetapi sejumlah keputusan pengadilan tetap menerapkan hukuman pidana mati.

Situasi tersebut terbalik jika membandingkan kemajuan hukum di sejumlah negara, yang mulai mengurangi untuk menghapus pemidanaan mati bagi para pelaku kejahatan.

Amnesty Internasional Indonesia mencatat, angka vonis mati di dalam negeri sepanjang 2019, tercatat 80 kasus. Jumlah keputusan mati dari pengadilan tersebut, meningkat dua kali lipat dari 2018, yang terdata sebanyak 48 kasus. Di level internasional, Amnesty Indonesia mencatat malah terjadi penurunan global tren vonis mati dari 2.531 menjadi 2.307 kasus.

Dari 80 kasus vonis mati di Indonesia itu, Amnesty Indonesia memerinci 60 kasus di antaranya, merupakan perkara perdagangan narkotika. Sedangkan 18 kasus lainnya, terkait pembunuhan, dan satu kasus perkosaan anak, juga satu kasus kejahatan terorisme. Dari jumlah tersebut, delapan terpidana di antaranya, adalah warga negara asing yang divonis mati terkait peredaran narkotika.

“Kami mencatat ada peningkatan vonis mati sebesar 44 persen di masa pemerintahan saat ini, dibandingkan 15 sampai 20 tahun setelah reformasi,” kata Campaigner Amnesty Indonesia Justitia Avila Veda saat diskusi publik bertema ‘Prospek Penghapusan Hukuman Mati di Indonesia’, Selasa (21/4).

Direktur Amnesty Indonesia Usman Hamid menambahkan, peningkatan vonis mati di Indonesia ini menghkawatirkan. 

Karena, menurut Usman, vonis mati atas suatu kejahatan melangkahi hak asasi mendasar manusia untuk hidup yang semestinya dilindungi oleh negara. Pun hukuman mati, menurut Amnesty, terang Usman, bukan solusi dalam pengentasan kejahatan, karena diyakini tak pernah berhasil memberikan dampak jera.

“Terbukti bahwa hukuman mati tidak menimbulkan efek jera untuk tidak melakukan kejahatan,” ujar Usman. 

Karena itu, Amnesty mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengesahkan moratoium hukuman, dan eksekusi mati di Indonesia. Termasuk menerapkan pengalihan hukuman atau komutasi para terpidana mati yang saat ini menunggu eksekusi.

Amnesty juga meminta agar Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak lagi menerapkan tuntutan hukuman mati di pengadilan, dan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencabut konsep pemidanaan mati dalam setiap klausul rancangan Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP).

Direktur Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam diskusi yang sama mengatakan, perkembangan pemidanaan di internasional, memasukkan hukuman mati sebagai bagian dari praktik penyiksaan. Di Indonesia, data ICJR mencatat per Desember 2019 ada sekitar 271 terpidana mati di dalam penjara. 

Dari jumlah itu, 58 terpidana mati menunggu selama 10 tahun untuk eksekusi yang tak pasti. Bahkan, kata Erasmus, tercatat lima terpidana mati di dalam penjara saat ini, yang sudah menunggu selama 20 tahun untuk eksekusi.

“Ketika orang terlalu lama di penjara, dan menunggu eksekusi mati, kondisi mentalnya akan terganggu. Dan kondisi itu dalam konteks kebaruan hak asasi manusia, termasuk dalam penyiksaan,” kata Erasmus.

ICJR, kata Erasmus, sekata dengan Amnesty yang menghendaki perlunya penghapusan konsep pemidanaan mati dalam penegakan hukum di Indonesia. Terutama dalam perkara-perkara penyalahgunaan narkoba yang menurutnya, tak semestinya dipidana. Karena menurut dia, selain hukuman mati tak lagi relevan dalam peradaban hukum modern, pun tak mampu memberikan rasa adil terhadap korban.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement