Rabu 22 Apr 2020 12:14 WIB

Fatayat NU Minta Pemerintah Evaluasi Program Kartu Prakerja 

Fatayat NU menilai Kartu Prakerja dinilai belum perlu saat pandemi Covid-19.

Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini menilai Kartu Prakerja dinilai belum perlu saat pandemi Covid-19.
Foto: Republika/Nugroho Habibi
Ketua Umum PP Fatayat NU Anggia Ermarini menilai Kartu Prakerja dinilai belum perlu saat pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU), meminta pemerintah mengevaluasi kembali program Kartu Prakerja yang saat ini sedang berlangsung. 

"Sebelum terlalu jauh, pemerintah harus mendengar betul masukan berbagai elemen masyarakat terhadap pelaksanaan Program Prakerja yang sedang berjalan di masa pandemik ini," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU), Anggia Erma Rini, dalam keterangan persnya di Jakarta, Rabu (22/4). 

Menurut Anggia, banyak masalah terjadi dan banyak hal yang tidak tepat diterapkan dalam mekanisme program prakerja di situasi sekarang. 

Dia menjelaskan, Fatayat NU menerima beragam laporan dan keluhan masyarakat terkait proses prakerja ini. Poinnya pada tiga aspek. Pertama, pelatihan online dalam prakerja tidak tepat diterapkan saat ini, dan sebaiknya dihapus saja. 

Kedua, daftarnya susah, dan sulit masuk. Ketiga, yang mendesak dibutuhkan masyarakat sekarang adalah sembako, bukan pelatihan.    

Selain itu, Anggia menegaskan bahwa sebagian besar masyarakat, terutama pekerja informal, saat ini dalam kondisi tidak mempunyai penghasilan.

 "Semua pekerja informal, pedagang, buruh, penjual jasa, terpapar dampak pandemik. Sebaiknya program prakerja lebih fokus menyasar pada apa yang dibutuhkan masyarakat. Bukan lagi konsep pelatihan," ujarnya. 

Sejumlah keluhan juga menyoal mekanisme pendaftaran. Banyak kelompok masyarakat telah mencoba daftar prakerja, tapi selalu gagal. 

Menurut dia, pendaftaran dan pelatihan secara online itu segmennya hanya di perkotaan saja. Sementara sebagian besar masyarakat kita wilayah pedesaan. 

“Itu ribet jika harus online. Tidak semua paham, tidak semua aksesnya lancar, terjangkau internet, dan tidak semua punya kuota," kata Anggia. 

Dengan kondisi tersebut, Anggia menekankan betul agar pemerintah responsif dan gerak cepat menghadapi trial and error di lapangan.  

Pemerintah, kata dia, harus mengevaluasinya. Teknis di lapangan menunjukkan mekanisme sekarang riskan dilanjutkan. Anggaran pelatihan prakerja lebih baik dialokasikan untuk menambah kuota prakerja. 

“Lalu perjelas pembagian kuota untuk tiap provinsi dari kuota yang ada saat ini. Itu lebih bermanfaat secara langsung," ujar Anggia. 

Tidak hanya itu, Anggia juga meminta pemerintah  mempermudah sistem pendaftaran prakerja secara online. Tim program prakerja harus lebih siap. Pendaftaran harus lebih mudah. 

Faktanya, menuru Anggie, memang akses ke situs sering gagal, dan banyak dikomplain ribet. Situasi pandemik sekarang jangan disamakan dengan rancangan awal dulu. “Ini sangat berbeda. Pemerintah harus gerak cepat mengevaluasi peruntukannya," ujarnya.

Tidak kalah penting, Anggia meminta agar Project Management Office (PMO) selaku pengelola program bertindak lebih transparan.

PMO harus benar-benar transparan pengelolaannya. Laporkan setiap kendala, hambatan, pembiayaan, dan pertanggungjawabannya sedetail mungkin.  "Ini bukan uang sedikit. PMO jangan main-main dengan anggaran negara. Semua orang menyoroti,” kata dia mengingatkan.  

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement