REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA - Badan Pengungsi PBB (UNHCR) mengatakan para pengungsi Rohingya yang terdampar di laut menghadapi masalah yang mengerikan. Oleh karenanya UNHCR meminta negara-negara mengizinkan para pengungsi untuk turun dari kapal terdampar dengan alasan kemanusiaan meskipun ada krisis kesehatan Covid-19 ini.
Direktur UNHCR Asia-Pasifik, Indrika Ratwatte, mengatakan badan PBB semakin prihatin dengan laporan pengungsi Rohingya di kapal penangkap ikan yang ditolak masuk ke negara-negara tujuan mereka. Para pengungsi ditolak meskipun kondisi berbahaya pada kapal penyelundup mengintai mereka.
"Kami semakin prihatin dengan laporan-laporan tentang kegagalan untuk menurunkan kapal-kapal dalam kesusahan dan risiko yang serius yang ditimbulkannya pada pria, wanita, dan anak-anak di atas kapal," kata Ratwatte dikutip Aljazirah, Kamis (23/4).
"Pencarian dan penyelamatan, bersama dengan pendaratan cepat, adalah tindakan yang menyelamatkan jiwa," ujarnya menambahkan.
Dalam beberapa hari terakhir, dilaporkan pesawat pengintai Malaysia mencegah sebuah kapal yang membawa sekitar 200 pengungsi Rohingya memasuki perairan Malaysia. Kapal berisi pengungsi itu kemudian terpaksa kembali ke perairan di selatan Thailand.
Angkatan udara Malaysia mengatakan pihaknya khawatir kelompok pengungsi membawa virus corona ke negara yang dipimpin perdana menteri Muhyiddin Yasin tersebut. Malaysia mengatakan bahwa awak kapal angkatan laut Malaysia telah membagikan makanan kepada orang asing di atas kapal sebelum mengawal kapal mereka keluar dari perairan negara.
Sehari sebelum insiden 17 April, penjaga pantai Bangladesh melaporkan setidaknya 24 pengungsi Rohingya meninggal dunia di laut setelah kapal mereka gagal mencapai Malaysia. Hampir 400 lainnya selamat di atas kapal yang telah terpaut di Laut Andaman selama berminggu-minggu.
Thailand sebagai negara yang berbatasan dengan Myanmar memiliki kebijakan yang lebih ketat terhadap pengungsi Rohingya. Mereka yang berhasil sampai ke pantai Thailand dikenakan penahanan yang tidak terbatas. Bangkok juga menolak mengizinkan UNHCR melakukan penentuan status pengungsi bagi Rohingya sehingga memaksa banyak orang untuk berusaha mencapai Malaysia.
Ratwatte mengatakan negara-negara di kawasan itu seharusnya tidak membiarkan terulangnya krisis pengungsi Rohingya 2015. Kala itu, ribuan orang terjebak di laut mencoba melarikan diri dari Myanmar. "Kita tidak boleh kembali ke ketidakpastian yang mengancam jiwa hari ini," kata Ratwatte.
Disinggung soal bahaya yang ditimbulkan oleh pandemi Covid-19, Ratwatte mengatakan bahwa seharusnya langkah-langkah untuk membantu mengatasi virus tidak musti menghasilkan penutupan jalan untuk suaka atau memaksa orang untuk kembali ke situasi bahaya. "Di tengah darurat kesehatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, penyelamatan di laut dan memungkinkan orang yang dianiaya untuk mencari suaka adalah prinsip dasar hukum internasional adat, yang dengannya semua negara terikat", katanya.
Chris Lewa dari Proyek Arakan, yang memantau situasi Rohingya, juga mengatakan pandemi Covid-19 bukan alasan yang dapat diterima bagi negara-negara untuk menolak masuk para pengungsi. Dia mengatakan tugas angkatan laut negara-negara tetangga Myanmar adalah menyelamatkan orang-orang di laut, bukan untuk mendorong mereka keluar dan membuat hidup mereka dalam bahaya bahkan lebih.
"Baik Thailand dan Malaysia sadar bahwa nyawa orang-orang dalam bahaya. Menolak untuk membantu orang-orang di kapal-kapal akan membuat keadaan mereka menjadi lebih buruk," ujar Amnesty International dalam sebuah pernyataan.