REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu hari, Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq al-Balkhi mengunjungi Rabi'ah al-Adawiyah. Kala itu, sang perempuan sedang sakit.
Ketiganya adalah tokoh besar dalam sejarah kewalian. Hasan memulai pembicaraan, "Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak tabah menanggung 'cambukan' Allah."
Hasan bermaksud mengingatkan Rabi'ah agar tabah. Namun, Rabi'ah membalas pernyataan Hasan yang dianggapnya masih kurang tajam.
"Kata-katamu itu masih berbau egoisme."
"Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak bersyukur karena 'cambukan' Allah," kata Syaqiq.
"Ada yang lebih baik dari itu," jawab Rabi'ah, seraya mengisyaratkan agar tamunya berpikir dan merenungkannya.
Tiba-tiba, Malik bin Dinar berkata, "Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak merasa bahagia ketika menerima 'cambukan' Allah." Ketiga wali Allah itu mengira jawaban Malik paling tepat.
"Masih ada yang lebih baik dari itu," ujar Rabi'ah.
Setelah merenung, akhirnya mereka sepakat melempar persoalan ini pada Rabi'ah sendiri. Berkatalah sang tuan rumah, "Seorang manusia tidak dapat dipercaya kata-katanya jika ia tidak lupa kepada 'cambukan' Allah, ketika ia merenungkan-Nya."
"Subhanallah...." Mereka bertiga tertunduk diam.
Dalam hati terdalam, mereka mengakui kehebatan Rabi'ah tentang kepasrahan total kepada Rabb Mahapencipta.
Memang, cara menyikapi ''cambukan Allah'' beraneka ragam dan bertingkat-tingkat. Cara tertinggi dilakukan kaum arifiin (makrifatullah) sebagaimana disampaikan Rabi'ah.
Ketika "cambukan" Allah--yakni ujian hidup--datang, dia menghadapinya dengan senantiasa berzikir pada-Nya (musyahadah). Dirinya lalu melebur (fana').
Cara kedua adalah apa yang telah disampaikan Hasan al-Bashri. Seseorang yang tengah mendapat "cambukan" Allah cenderung memohon agar diberi kesabaran dan ketabahan.
Adapun cara ketiga dilakukan kebanyakan orang awam. Ketika ujian itu datang, mereka memohon agar Allah segera melenyapkan musibah itu.