Senin 11 May 2020 06:17 WIB

PBNU Minta DPR Ajak Masyarakat Bahas Omnibus Law

Pelibatan partipasi publik agar RUU Ciptaker diterima dan tidak ada gejolak.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi Omnibus Law
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Ilustrasi Omnibus Law

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta DPR menyertakan masyarakat dalam membahahas Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut saat ini tengah dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR.

"Perlu mendengar aspirasi masyarakat, DPR harus melakukan uji publik, kita punya kekayaan jejaring sosial, infrastruktur sosial, organisasi sosial diajak dialog untuk melengkapi menyempurnakan (RUU Ciptaker)," kata Ketua PBNU Bidang Ekonomi Umarsyah dalam keterangan yang diterima, Ahad (10/5).

Baca Juga

Dia mendesak parlemen untuk melibatkan partipasi publik agar RUU Ciptaker dapat diterima dengan baik dan tidak ada gejolak di tengah masyarakat. Dia mengatakan, RUU tersebut dapat memacu dan memicu pembangun ekonomi nasional.

Menurut Umar, peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah hasil kesepakatan sosial. dia mengatakan, salah satu mekanisme yang perlu dilakukan adalah DPR melakukan dialog menerima masukan strategis terkait RUU Ciptaker.

"Kalau mau sepakat jadi harus ada dialog intensif sehingga masing-masing pihak paham, baik pemerintah, DPR dan masyarakat," katanya.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo telah menyepakati pembahasan Omnibus Law. Tujuan produk hukum itu adalah menyederhanakan UU dan peraturan guna menggenjot perekonomian sehingga bisa menumbuhkan investasi sehingga menyerap tenaga kerja.

Kendati, penolakan terhadap RUU tersebut sempat muncul dari berbagai pihak. Saat ini, DPR dan Presiden sepakat mencoret isu ketenagakerjaan dari RUU itu namun pasal-pasal lain tetap dilanjutkan pembahasannya oleh DPR.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement