REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyatakan, penyelenggara pemilu harus melakukan mitigasi risiko secara komprehensif terkait pelaksanaan tahapan Pilkada di tengah pandemi Covid-19. Mitigasi risiko tersebut nantinya dapat dijadikan basis dalam menyusun protokol pelaksanaan Pilkada yang kompatibel dengan protokol penanganan Covid-19.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, menyampaikan, pembuatan mitigasi risiko tersebut harus dilakukan secara holistik dan tidak bisa terburu-buru. Ia menilai, penyusunan mitigasi risiko akan memakan waktu yang tidak sedikit karena harus melibatkan para pakar, ahli, dan orang-orang yang memiliki kompetensi kepemiluan.
"Mitigasi risiko ini (dapat dijadikan) sebagai basis menyusun protokol pelaksanaan Pilkada yang kompatibel dengan protokol penanganan Covid-19," kata Titi dalam diskusi daring, Ahad (17/5).
Perludem, kata Titi, berpandangan tahun 2020 seharusnya semua elemen fokus menangani Covid-19. Dengan demikian, upaya bangsa ini berdamai dengan virus tersebut dapat direalisasikan.
Ia mengatakan, berdasarkan WHO, Covid-19 tidak bisa hilang 100 persen dari muka bumi. Untuk berdamai dengan virus tersebut butuh waktu, sumber daya, kedisiplinan, daya dukung maksimal, dan kepemimpinan yang tegas agar Pilkada dapat disiapkan dengan baik.
"Karena damai itu kan butuh waktu, sumber daya, disiplin, butuh kepemimpinan yang juga tegas. Bukan kepemimpinan yang berubah-ubah kebijakan apalagi mencla-mencle," tuturnya.
Damai antara pemilu dengan Covid-19 juga ia nilai dapat terjadi hanya jika kepercayaan publik terhadap kapasitas negara dalam menangani Covid-19 itu baik. Apabila publik tidak percaya negara bisa memproteksi mereka, maka hal tersebut akan sulit tercapai.
Titi menyampaikan, harus ada proses yang memadai untuk menuju ke arah berdamai tersebut. Ia mengambil beberapa contoh negara yang bisa melakukan pemilu dan berdamai dengan Covid-19 secara baik, yakni di Korea Selatan dan Jerman. Mereka melakukan penyesuaian dengan kondisi yang mereka hadapi di negaranya masing-masing.
"Di Bavaria (Jerman) mereka bisa sukses pemilu lokal karena semua pemungutan suara itu tidak pergi ke TPS, melainkan dilakukan melalui postal voting. Nah untuk menuju kesana untuk bisa damai itu kita perlu waktu. Karena kita perlu beradaptasi dan melakukan pembiayaan," kata dia.
Karena itu, waktu, sumber daya, dan regulasi yang tepat menjadi prasyarat agar hal tersebut dapat dilakukan. Jangan sampai langkah berdamai dengan virus tersebut diambil ketika pengetahuan dan waktu beradaptasi yang dimiliki tidak mencukupo.
Ia mengibaratkan hal tersebut sama saja dengan menyerahkan diri ke musuh tanpa ada proposal damai yang jelas. "Kalau seperti itu ibarat di medan perang kita langsung menyerahkan diri ke hadapan musuh tanpa proposal damai yang jelas gitu. Kan kalau mau amai itu proposalnya harus jelas," ungkap dia.
Ia pun mengingatkan, aktivitas pemilu tidak hanya ada pada saat hari pemungutan suara saja. Sebelum proses pemungutan suara, sudah ada aktivitas-aktivitas pengumpulan masa, aktivitas yang menyratkan partisipasi, keterlibatan publik, transparansi, dan sebagainya.