REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ‘Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq masih berusia belia saat menikah dengan Rasulullah Muhammad SAW. Kalangan orientalis yang tendensius kerap menjadikan pernikahan tersebut sebagai perkara untuk memojokkan Nabi SAW.
Padahal, pernikahan itu sah dan pantas adanya. ‘Aisyah sudah berusia baligh (dewasa) saat tinggal serumah dengan suaminya itu. Hubungan itu pun terjalin dengan tujuan yang lebih dari sekadar hubungan antara dua insan. Sebab, ada visi lain yang tak kalah penting, yaitu misi dakwah Islam.
Sejarah membuktikan, ‘Aisyah merupakan seorang yang cerdas. Perempuan yang dijuluki Humaira (“pipi kemerah-merahan”) oleh Rasulullah SAW itu selalu berpikir kritis dan analitis dalam melihat suatu peristiwa. Ilmu hadis pun bisa dikatakan berutang banyak pada istri ketiga Nabi SAW tersebut.
Ini, misalnya, terlihat jelas dalam kasus hadis berikut. Suatu ketika, Abu Hurairah menanyakan kepada ‘Aisyah perihal hadis yang menyebutkan, “Shalat seseorang bisa batal karena tidak adanya pembatas yang menghalang orang dari melintas (di depan orang shalat itu), disebabkan melintasnya perempuan, himar, dan anjing hitam.”
Sanad hadis ini juga diperoleh dari sahabat Nabi SAW lainnya, semisal Abu Dzar al-Ghifari. Mendengar keterangan itu, ‘Aisyah lantas menyampaikan pendapatnya, berdasarkan pengalamannya serumah dengan Nabi SAW.
Ia berkata, “Demi Allah, aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat, sementara aku sedang tiduran telentang di atas tikar, kakiku berada di antara beliau dan kiblat. Timbul niat dariku untuk tidak duduk sehingga bisa mengganggu shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka, aku membiarkan kakiku terjulur di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.”
Di sini, ‘Aisyah hendak menegaskan pandangannya kepada sahabat Nabi SAW itu. Seseorang hendaknya mengkaji terlebih dahulu seluruh keterangan yang ada sebelum dapat menyimpulkan suatu hukum. Dalam kasus ini, ‘Aisyah tak setuju bila shalat seseorang batal bila ada orang melintas di depannya. Buktinya, lanjut sang Humaira, Nabi SAW tetap meneruskan shalatnya meskipun kaki ‘Aisyah melintang di hadapan beliau.
Kisah di atas hanyalah satu dari rupa-rupa kontribusi ‘Aisyah bagi ilmu hadis.
Sesudah wafatnya Rasulullah SAW, di Madinah dan Makkah marak bermunculan majelis-majelis keilmuan. Ada yang diselenggarakan para sahabat dari kalangan pria, semisal Abu Hurairah, Ibnu Abbas, atau Zaid bin Tsabit. Bagaimanapun, majelis ilmu yang bisa dibilang paling besar ialah yang diadakan Siti ‘Aisyah RA. Bahkan, dialah yang menjadi poros utama dalam transmisi keilmuan Islam pada fase sahabat dan tabiin.