Ahad 31 May 2020 13:00 WIB

Pengamat: Pilkada di Tengah Pandemi tak Efektif

Pilkada menguras anggaran, padahal sebaiknya bisa dipakai buat bantu tangani Covid.

Red: Teguh Firmansyah
Pilkada (ilustrasi)
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilkada (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGPINANG -- Pengamat politik, Robby Patria, berpendapat sebaiknya pilkada serentak yang ditetapkan 9 Desember 2020 ditunda. Pilkada, kata Robby, tidak efektif jika dipaksakan saat negara masih fokus mengurus Covid-19.

"Pelaksanaan pilkada sebaiknya ditunda sampai kondisi pandemi Covid-19 berakhir. Jika dipaksakan, tentu ini tidak baik," katanya, di Tanjungpinang, Minggu.

Laki-laki yang juga mantan ketua KPU Tanjungpinang itu mengatakan, penyelenggaraan tahapan pilkada membutuhkan kerja keras dan keberanian penyelenggara pemilu. Beberapa tahapan membutuhkan pertemuan antara petugas penyenggara pemilu di lapangan dengan masyarakat, termasuk peserta pemilu dengan masyarakat.

Sebagai contoh, tahapan pencocokan data pemilih. Tidak mungkin dilakukan petugas secara virtual. Sebab, petugas harus memastikan identitas pemilih tersebut sesuai atau tidak dengan data pemilih sementara.

Kemudian juga persoalan sosialisasi pilkada. Tahapan ini bukan hanya sekali dilakukan, dan kurang efektif jika hanya dilaksanakan secara virtual. Jumlah peserta sosialisasi pilkada tidak sedikit, melainkan sangat banyak karena melibatkan peserta pilkada, pengurus partai dan masyarakat.

"Sosialisasi pilkada bukan hanya di internal penyelenggara pemilu, melainkan juga kepada peserta pemilu dan masyarakat. Media massa mungkin dapat dijadikan sarana sosialisasi, tetapi seberapa efektifkah? Ini perlu dikaji," ujarnya.

Selain itu, tahapan kampanye juga menjadi permasalahan jika dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Peserta pilkada tidak mungkin mendapat izin atau mustahil berani mengumpulkan massa untuk berkampanye. Sementara kampanye merupakan sarana yang cukup efektif dalam menyosialisasikan visi dan misi.

"Itu antara lain tahapan pilkada yang biasanya dilaksanakan membutuhkan partisipasi dari penyelenggara pemilu. Siapa yang bisa menjamin tidak terjadi kerumunan massa? Ini juga menjadi permasalahan," ucapnya.

Ia juga menyorot persoalan anggaran pilkada ditengah pandemi Covid-19. Pilkada tidak hanya menguras energi penyelenggaranya, melainkan juga menguras anggaran. Anggaran pilkada yang terkuras mencapai Rp 160 miliar lebih untuk tingkat provinsi, seperti di Kepulauan Riau.

"Belum lagi anggaran untuk pilkada kabupaten dan kota. Sementara pendapatan daerah, dan anggaran dari pusat terjun bebas. Bukankah sebaiknya anggaran itu dipergunakan untuk hal lain yang jauh lebih penting seperti penanganan Covid-19," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement