REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengungkap empat risiko penyelenggaraan pilkada lanjutan di tengah pandemi Covid-19. Empat risiko ini meliputi risiko reputasi, politik, keuangan, dan hukum. "Sukses tidaknya penyelenggaraan Pilkada 2020 ini juga akan menyangkut bagaimana reputasi KPU," ujar Raka Sandi dalam diskusi virtual, Selasa (2/6).
Ia menjelaskan, reputasi KPU dipertaruhkan untuk menjaga kredibilitas dan kualitas pilkada di tengah wabah pandemi. Tak hanya KPU, tetapi juga penyelenggara pemilu lainnya, yakni Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Menurut dia, pemantau pemilu internasional juga akan memberikan perhatian khusus di tengah situasi saat ini. Selain itu, terkait risiko keuangan, pilkada di tengah pandemi berimplikasi pada penambahan anggaran karena kebutuhan sarana dan prasarana penerapan protokol kesehatan penanganan Covid-19.
Ia menyebutkan, KPU masih menghitung secara keseluruhan kebutuhan yang mesti disiapkan untuk menjalankan tahapan pemilihan dengan protokol kesehatan. Namun, anggaran pilkada bertambah signifikan dari dana yang sudah disediakan dalam pelaksanaan pilkada sebelum pandemi.
Dia menuturkan, kondisi keuangan pemerintah daerah sangat berat karena fokus percepatan penanganan Covid-19. Jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai sumber biaya pilkada tidak dapat mencukupi, anggaran tambahan memungkinkan dapat didukung APBN.
"Undang-Undang Pilkada menyatakan bahwa sumber pendanaan pilkada itu di APBD dan dapat didukung melalui APBN," kata dia.
Di sisi lain, dia melanjutkan, sebagian anggaran pilkada yang telah disepakati sesuai naskah perjanjian dana hibah (NPHD) masih berada di tangan pemerintah daerah dan belum ditransfer ke rekening KPU daerah masing-masing. Apalagi, jika pilkada mundur tahun depan, dana yang mengendap terlalu lama ini terancam direalokasi.
Kemudian, terkait risiko politik pemungutan suara Pilkada 2020 dilaksanakan Desember tahun ini, potensi pejawat mundur dari kontestasi menjadi besar. Pasalnya, kepala daerah fokus dalam penanganan wabah hingga masa pemulihan.
Namun, jika pilkada kembali ditunda dan dijadwalkan tahun depan, diperlukan penataan ulang jadwal pilkada serentak berikutnya, termasuk penentuan akhir masa jabatan kepala daerah. Ia melanjutkan, risiko hukum yang akan dihadapi dalam pelaksanaan lanjutan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dapat digugat. Hal ini bisa terjadi apabila situasi pandemi Covid-19 makin mengkhawatirkan.
Perppu 2 Tahun 2020 menjadi landasan penundaan pemungutan suara pilkada serentak di 270 daerah, dari jadwal semula September menjadi Desember karena Covid-19. Perppu juga menetapkan pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pemungutan suara tidak dapat dilaksanakan Desember karena Covid-19 belum berakhir.
Tak hanya itu, keputusan-keputusan KPU terkait tahapan di tengah pandemi juga rentan digugat secara hukum. Apalagi, kondisi pandemi Covid-19 merupakan hal baru dan belum ada regulasi terkait pelaksanaan pilkada saat bencana nonalam. "Ini sesuatu hal yang baru. Dalam hal yang baru saya kira regulasi masih dalam proses. Di tingkat PKPU sedang kami bicarakan, juga perppu memerlukan komitmen dari DPR karena kesempatan pertama DPR akan melakukan sidang tentang perppu ini," katanya menambahkan.