REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pandemi Covid-19 memicu adanya krisis yang berdampak ke kehidupan sosial. Tapi, disrupsi besar ini memberikan sudut pandang baru bagi arsitek dalam melakukan pengelolaan kota.
Kebijakan mengenai menjaga jarak fisik dan menghindari keramaian merupakan satu pemantik untuk mendesain kota yang berketahanan dan lebih sehat. Hal ini guna mengantisipasi jika ada wabah terulang kembali.
Pandemi memunculkan sudut pandang baru dalam merancang kembali ruang publik. Tujuannya, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat untuk berkumpul secara sosial tapi tetap memperhatikan jarak fisik antar pribadi.
Prof. Nicole Uhrig dari Anhait University of Applied Science mengatakan wabah Covid-19 sangat berefek ke perekonomian tiap negara. Apalagi, jarak sosial membuat banyak orang harus menutup usahanya dan tetap di rumah saja.
Ia melihat pengelolaan ruang publik bukan hanya soal menyehatkan masyarakat tapi mempersiapkan menghadapi wabah dengan dampak minimal. Banyaknya orang yang terinfeksi harus dibarengi persediaan tempat karantina yang terjangkit.
"Tahun ini dapat menjadi referensi agar kita dapat mempersiapkan tempat lebih dalam menghadapi wabah serupa di masa depan," kata Nicole saat mengisi webinar yang digelar Prodi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII).
Ia menilai perlu ada beberapa opsi selain tempat karantina seperti tempat ibadah, restoran, pasar, ruang belajar, tempat rekreasi, mal dan lain-lain. Perlu pula wahana bermain yang aman bagi anak-anak kecil.
"Sebab, anak-anak memerlukan agar wahana untuk melatih perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosionalnya. Penting sekali dibuat rancangan agar ruang publik siap menghadapi segala situasi seperti wabah ini," ujar Nicole.
Struktur tatanan kota ke depannya perlu disiapkan dengan membuat beberapa aturan di setiap tempat. Misal, di tempat ibadah harus diberi tanda jarak fisik antar pribadi dengan tanda-tanda.
Tempat makan perlu dibuat rumah-rumahan mini yang terdapat kursi dan meja yang hanya dapat diisi dua orang saja berhadap-hadapan. Ruang pembelajaran diatur dengan dibuatnya jarak antar meja dan kursi.
Trotoar atau tempat pejalan kaki perlu diberi tanda pembatas di jalurnya sehingga setiap orang dapat berjalan sesuai jalurnya. Trotoar pop-up ini memberi ruang tambahan pejalan kaki sebagai jarak sosial di pusat kota.