REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Kemiskinan, perang, bencana, wabah penyakit hal yang sudah sangat terbiasa dialami orang Jawa dalam sejarahnya. Mereka terbukti selalu mampu melewatinya dari waktu ke waktu, mulai dari bencana yang terjadi sebelum tahun 1900-an hingga setelah 1900, misalnya pada pandemi wabah flu Spanyol atau wabah lain setelah datangnya krisis ekonomi besar dunia pada tahun 1930.
Dan cara mereka melawan wabah itu pun unik. Selain berjaga siang dan malam di depan kampungnya, mereka juga berinisitaitif mengarak pusaka kraton yang terbuat dari kain kiswah, yakni bendera yang disebut Kiai Tunggul Wulung yang tersimpan di Kraton Yogyakarta. Mereka mengarak pusaka kraton ini dengan disertai doa keagaaman dari para ‘pangulu kraton’ dan abdi dalem ‘pamethakan’ (abdi dalem yang mengurusi ritual agama Islam).
Segala keriuhan ini tercatat secara apik dalam buku legendaris karya mendiang sejarawan Australia, MC Ricklefs yang bertajuk ‘Mengislamkan Jawa’. Begini kisahnya:
————-------
Kebanyakan masyarakat Jawa yang hidup pada dasa warsa 1930-an kala itu masih menyakini bahwa keluarga kerajaan Jawa memiliki kekuatan magis mistis. Hal ini dicontohkan oleh respons terhadap wabah penyakit yang menyapu kota lama bernama Kota Gede, yang terletak di selatan Yogyakarta.
Di kota ini, terdapat makam dari para pendiri dinasti Mataram, Senapati Ingalaga (meninggal 1601) dan Panembahan Seda ing Krapyak (meninggal 1613).
Kota Gede dipenuhi oleh deretan rumah-rumah dan banyak jalan sempit di mana para pengrajin emas, perak, dan tembaga, para pembuat barang-barang dari kulit, seniman tempurung kura-kura serta pedagang perhiasan bekerja.
Pada 1931, wabah menyerbu kota sehingga warga kota yang lebih kaya memilih meninggalkan rumah-rumah mereka untuk pindah ke tempat lain, sementara mereka yang kurang beruntung memilih tetap tinggal sembari berjaga setiap malam karena takut penyakit akan datang dan mengambil nyawa mereka di kala tengah tertidur pulas.
Senjata-senjata pusaka yang dianggap memiliki kekuatan super natural diarak keliling kota untuk mengusir wabah penyakit. Pada akhirnya, Sultan Hamengkubuwana ke VIII dari Yogyakarta pun dimohon kesediannya untuk mengizinkan salah satu pusaka kerajaan yang paling suci, bendera Kanjeng Kiai Tunggul Wulung, untuk diarak. Bendera tersebut diyakini dibuat dari kain yang menutupi dinding Ka’bah (Kiswah). Di ujungnya, terdapat tombak pusaka bernama Kanjeng Kiai Slamet.
Sang Sultan menyetujui permohonan tersebut, tetapi Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Slamet diarak hanya di seputaran kota Yogyakarta, dan bukannya Kota Gede. Kali sebelumnya pusaka itu diarak adalah ketika wabah influenza menyerang pada 1918 dan keyakinan umum bahwa wabah itu berhenyi karena pengarakan pusaka-pusaka tersebut. Sebelumnya, Kiai Tunggung Wulung dan Kiai Slamet diarak pada 1982 dan 1876 juga ketika wabah menyerbu kota.
Dititahkan bahwa kali ini kedua pusaka kerajaan tersebu akan diarak pada malam tanggal 21-22 Januari 1932, ketika pertemuan antara sistem minggu lima hari dan tujuh hari jatuh pada hari Jumat Kliwon, yang diyakini sebagai hari terbaik dari sudut pandangan supranaural bagi Kiai Tunggul Wulung.
- Keterangan foto: Suasana pandemi flu Spanyol di Hindia Belanda pada tahun 1918.
Setelah persiapan ritual dan persembahan yang sesuai, seratus tokoh agama (pamethakan) mempersiapkan diri untuk mengusung kedua pusaka keluar dari istana. Azan dikumandangkan secara bersama-sama diikuti oleh pendarasan doa. Kemuidan rombongan besar disusun dan berjalan ke luar dari kraton dengan membawa bendera-bendera suci.
Di luar ribuan orang Jawa sudah menanti. Kalau orang berpikir bahwa prosedur ini dalam beberapa aspek sepenuhnya bersifat Islami, perlu dicatat di sini bahwa tahapan selanjutnya adalah memberikan persembahan atau sesaji kepada ‘waringin kurung’ pohon beringin berpagar di alun-alun Yogyakarta yang (hingga kini) dipercaya memiliki kekuatan supernatural.
Sesaji yang dipersembahkan berupa kerbau albino (kebo bule) berjenis kelamin betina, tempurung berbagai jenis kura-kura, dan semacamnya. Rombongan tersebut terdiri dari para pemuka agama, tentara, dan kaum bangsawan dipimpin oleh ‘pangulu’ (kepala urusan keagamaan kraton) yang menaiki kuda — dan ribuan masyarakat yang hadir kemudian berjalan kaki mengelilingi kota Yogyakarta, berhenti di sembilan titik yang telah ditentukan sebelumnya untuk berdoa.
Pada pukul 5 pagi, pusaka-pusaka-pusaka yang diarak dikembalikan ke istana di mana Sultan yang berjaga sepanjang malam menanti. Pangulu kemudian memimpin dan mengawasi penyembelihan hewan kurban di alun-alun utara.
- Keterangan foto: Para dokter dan mantri di Jawa tengah menyuntikan vaksin ke penduduk