REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pada abad ke-8 M/1 H, di kalangan umat Islam, khususnya penganut aliran Khawarij dan Murjiah terjadi perdebatan yang sangat sengit. Khawarij adalah sekte atau aliran ketiga dalam Islam, di luar Suni dan Syiah. Sedangkan, aliran Murjiah merupakan aliran Islam yang tak sepaham dengan sekte Khawarij.
Kedua aliran dalam Islam itu berdebat tentang status seorang mukmin yang berdosa besar. Kalangan penganut Khawarij berpendapat, seorang Muslim yang berdosa besar (kabirah) adalah murtad dari Islam dan tak boleh lagi berada di bawah perlindungan hukum Islam. Sekte ini berpendapat Muslim yang berada di luar Khawarij adalah kafir.
Pendapat itu ditentang oleh ulama dan pengikut aliran Murjiah. Menurut pandangan aliran ini, seorang Muslim yang berdosa besar tetaplah seorang Muslim, bukan kafir. Dalam pandangan aliran ini, yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT.
Di tengah perbedaan yang sangat sengit dan kontroversial itu, muncullah seorang ulama bernama Wasil bin Ata, seorang murid dari ulama terkemuka di Basra, Irak, yang bernama Hasan al-Basri. Ia berpendapat bahwa seorang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir.
Tegas, orang itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi di antara keduanya, tegas Wasil bin Ata, seperti ditulis Ensiklopedi Islam. John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford, menyebutkan, kelompok teolog yang dirintis Wasil bin Ata itu berpendapat, di tengah-tengah pendapat Khawarij dan Murjiah.
Wasil bin Ata berpendapat, di akhirat kelak, orang Muslim yang berdosa besar tak ada tempat di antara surga dan neraka, sehingga dimasukan ke dalam neraka, tetapi siksaannya lebih ringan dari siksaan terhadap orang kafir. Dengan doktrin itulah, Wasil bin Ata mendirikan aliran Muktazilah pada 100 H/718 M.
Istilah Muktazilah, menurut Imam As-Syahristani, muncul dari ucapan guru Wasil bin Ata, yakni Hasan al-Basri. Setelah melontarkan pendapat untuk menengahi perselisihan antara Khawarij dan Murjiah, Wasil lalu meninggalkan gurunya dan membentuk kelompok sendiri.
Hasan al-Basri berkata, I’tazala’anna Wasil (Wasil menjauhkan diri dari kita). Menurut as-Syahristani, istilah Muktazilah lahir dari ucapan Hasan al-Basri. Sehingga, Muktazilah diartikan sebagai orang yang memisahkan diri, tetapi tak selalu berarti memisahkan diri secara fisik.
Muktazilah juga dapat berarti memisahkan diri dari pendapat-pendapat yang berkembang sebelumnya, karena pendapatnya memang berbeda dengan pendapat sebelumnya, tulis Ensiklopedi Islam. Aliran ini dikenal bersifat rasional dan liberal. Pandangan-pandangan teologisnya ditunjang oleh dalil-dalil akal.
Aliran ini sempat memiliki pengaruh yang besar pada abad ke-8 M hingga ke-10 M. Muktazilah berkembang ketika peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya di era keemasan Kekhalifahan Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Kontribusi aliran ini terhadap kemajuan dunia Islam dalam berbagai bidang, tak bisa dinafikan. Begitu Dinasti Buwaihi ambruk, aliran itu pun tergeser dari panggung sejarah