REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan sejumlah LSM dan menjatuhkan vonis PTUN kepada Presiden Jokowi dan Menteri Kominfo atas kasus pemutusan internet di Papua 2019 lalu. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta berharap, putusan ini menjadi pelajaran berharga.
"Saya menyambut baik putusan ini. Kita semua, khususnya pemerintah, harus bisa lebih arif mengambil ini sebagai pelajaran penting dalam demokrasi," kata Sukamta dalam pesan singkat yang diterima Republika, Rabu (3/6).
Dia mengingatkan, mengakses internet adalah bagian dari hak asasi manusia. Namun, jika bicara akses konten internet, maka negara boleh membatasi dan tidak semua konten dapat diakses.
Karena ini adalah hak asasi manusia, maka Wakil Ketua Fraksi PKS di DPR RI ini pun menyebut penyelenggaraan akses internet harus sesuai amanat UUD NRI Tahun 1945. Pengaturannya pun harus dengan undang-undang. "Untuk itulah UU ITE hadir," katanya.
Berdasar putusan PTUN, Sukamta melanjutkan, yang dilakukan pemerintah di Papua waktu itu adalah melakukan pemutusan akses internet, bukan pemutusan akses terhadap konten internet tertentu. Ini tentu menyalahi amanat UU ITE Pasal 40.
"Putusan ini juga menjadi pelajaran penting bagi pemerintah agar jangan suka melanggar aturan. Jika pemerintahnya saja suka melanggar aturan, bagaimana dengan rakyatnya," ujar Wakil Rakyat dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini.
Diberitakan sebelumnya, majelis hakim Pengadilan Tata Usana Negara (PTUN) menyatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Komunikasi dan Informatika melanggar hukum karena melakukan pemblokiran akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 lalu. Perkara tersebut diajukan 21 November 2019 dengan Nomor 30/G/TF/2019/PTUN.JKT.
"Mengadili, dalam eksepsi menyatakan eksepsi tergugat satu dan tergugat dua tidak diterima. Dalam pokok perkara, satu, mengabulkan gugatan para penggugat," ujar Hakim Ketua PTUN Jakarta, Nelvy Christin, saat membacakan putusan, Rabu (03/06).
Pemerintah dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum atas perbuatan mereka pada Agustus hingga September 2019 lalu. Perbuatan melanggar hukum yang pertama, yakni melakukan pelambatan akses bandwith di beberapa wilayah kota/kabupaten di Provinsi Papua Barat dan Papua pada 19 Agustus 2019 pukul 13.00 WIT-20.30 WIT.
Perbuatan pemerintah yang diputus melanggar hukum berikutnya, yakni saat melakukan pemblokiran layanan dan/atau data pemutusan akses internet secara menyeluruh di 29 kota/kabupaten Provinsi Papua dan 13 kota di Papua Barat dari 21 Agustus sampai 4 September 2019 hingga pukul 23.00 WIT.
Pelanggaran hukum selanjutnya, yakni tindakan pemerintah yang memperpanjang pemblokiran internet di empat kabupaten di wilayah Papua, yaitu Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mimika, Kabupaten Jayawijaya dan di dua kabupaten di wilayah Papua Barat. Yakni, Kota Manokwari dan Kota Sorong pada 4 September pukul 23.00 WIT sampai 9 September 2019 pada 20.00 WIT.
"Menyatakan tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh tergugat I dan tergugat II adalah perbuatan melanggar hukum," ujar Nelvy. Tergugat I dalam perkara ini adalah Presiden Republik Indonesia dan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.