REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Fauziah Mursid, Idealisa Masyrafina, Febrianto Adi Saputro
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Kamis (4/6) pagi meninjau Masjid Baiturrahim, di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta sebagai persiapan penerapan menuju tatanan kenormalan baru (new normal). Didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Jokowi mengatakan, pengecekan dilakukan untuk memastikan agar Masjid Baiturrahim dapat digunakan saat normal baru nanti diterapkan.
“Pagi hari ini saya melakukan pengecekan di Masjid Baiturrahim di Istana ini, dalam rangka persiapan menuju ke sebuah tatanan normal baru, adaptasi kebiasaan baru untuk nantinya segera Masjid Baiturrahim bisa kita pakai bersama-sama untuk shalat berjamaah maupun shalat sendiri,” jelas Jokowi.
Inspeksi Jokowi ke Masjid Baiturrahim menjadi isyarat dari pemerintah bahwa Indonesia mau tidak mau harus siap menuju tatanan new normal meski pandemi Covid-19 belum berakhir. Seusai inspeksi, Jokowi membuka rapat terbatas percepatan penanganan pandemi Covid-19 melalui konferensi video di Istana Merdeka, Jakarta.
Dalam rapat itu, Jokowi menetapkan target baru pengujian spesimen virus corona hingga 20 ribu per harinya. Ia mengatakan, target yang sebelumnya telah ia tetapkan, yakni 10 ribu per hari, pun telah terlampaui.
“Untuk pengujian spesimennya, saya kira saya mengucapkan terima kasih bahwa target pengujian spesimen yang dulu saya targetkan 10 ribu ini sudah terlampaui. Saya harapkan target berikutnya ke depan adalah 20 ribu per hari. Ini harus mulai kita rancang untuk ke sana,” kata dia.
Karena itu, ia pun meminta agar pelacakan secara agresif lebih ditingkatkan. Jokowi mengatakan, pelacakan dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan sistem teknologi telekomunikasi.
“Saya minta untuk pelacakan secara agresif dilakukan lebih agresif lagi dengan menggunakan bantuan sistem teknologi telekomunikasi dan bukan dengan cara-cara konvensional lagi,” ucap dia.
Ia mencontohkan negara lain yang telah menggunakan sistem teknologi telekomunikasi dalam melakukan pelacakan seperti Selandia Baru yang menggunakan diari digital dan Korea Selatan yang mengembangkan mobile GPS sehingga data pelacakan pun termonitor dengan baik.
Berbicara terpisah, Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengakui, pemerintah menunggu terpenuhi prasyarat dari organisasi kesehatan dunia (WHO) sebelum memberlakukan tatanan new normal. Prasyarat yang dimaksud Ma'ruf, sama seperti yang diinstruksikan oleh Jokowi.
"New normal ini dilakukan bila prasyarat yang ditetapkan oleh WHO sudah terpenuhi," ujar Ma'ruf saat menjadi narasumber web seminar Ekonomi Syariah di Indonesia: Kebijakan Strategis Menuju Era New Normal” yang digelar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Kamis (4/6).
Ia menerangkan, prasyarat pertama dari WHO yakni, penularan virus harus sudah terkendali di wilayah yang akan memulai new normal. Ini ditunjukan dengan rasio penyebaran R0 dalam satu wilayah berada di bawah angka 1 selama dua pekan berturut-turut.
Prasyarat kedua, lanjut Ma'ruf, tersedianya layanan dan sistem kesehatan untuk menangani kasus Covid-19 baru.
"Prasyarat ketiga adalah kemampuan dalam melakukan pelacakan yang ditandai dengan kecukupan jumlah pelaksanaan testing," kata Ma'ruf.
Ma'ruf menekankan, yang terpenting juga perubahan perilaku masyarakat agar melaksanakan protokol kesehatan secara ketat dalam kegiatan sosial maupun ekonomi masyarakat. Perubahan ini, menjadi hal yang tidak bisa ditawar, mulai dari kewajiban memakai masker, menjaga jarak fisik atau physical distancing, selalu mencuci tangan, dan perilaku hidup sehat.
Selain itu, Wapres mengatakan, pelaksanaan menuju kenormalan baru juga dilakukan secara bertahap, termasuk pelaku ekonomi maupun ekonomi syariah. Karena itu, ia berharap para pelaku ekonomi syariah dapat menyesuaikan diri dengan tahapan tersebut.
"Kegiatan usaha yang berkaitan dengan penyediaan makanan dan minuman seperti restoran, akan lebih dahulu dibuka secara terbatas dan menyusul kegiatan ekonomi lain yang berskala besar seperti pusat perbelanjaan," kata Ma'ruf.
Perhimpunan Dokter Emergensi Indonesia (IDEI) meminta pemerintah tidak langsung melangkah ke tatanan new normal sebelum dilakukan kajian yang komprehensif. Menurut Ketua PP PDEI Dr Moh Adib Khumaidi, kajian tersebut harus memperhatikan referensi epidemiologis dan medis serta membuat roadmap dan fase transisi dengan indikator yang terukur.
Terkait kekhawatiran adanya penularan, PDEI menyarankan agar pemerintah melakukan asesmen kemampuan fasilitas kesehatan dan memisahkan secara tegas fasilitas kesehatan khusus Covid-19 dan non-Covid-19.
"Ini untuk mencegah terjadinya crossing penularan virus Covid-19 di fasilitas kesehatan sekaligus memfokuskan kebutuhan kemampuan sumber daya pendukung pelayanan Covid-19," ujar Adib kepada Republika.co.id, Kamis (4/6).
PDEI menyarankan agar pemerintah meningkatkan upaya penanganan yang terintegrasi dan sinergi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah (provinsi atau kabupaten/kota) serta antara pemerintah daerah propinsi dan kabupaten/kota. Upaya terintegrasi akan membuat strategi penangananan kewilayahan lebih baik dan efektif.
Pemerintah pusat dan daerah harus melakukan penilaian kemampuan pelayanan kesehatan (mapping) terkait dengan fasilitas kesehatan (Rumah Sakit dan Puskesmas/ FKTP), sarana prasarana (ICU, ruang isolasi, ventilator), serta jumlah SDM dengan kualifikasinya sesuai dengan standar/pedoman penanganan Covid-19 .
Saran lainnya, yaitu memperbaiki strategi penanganan Covid-19 dengan menyiapkan rencana darurat berbasis data epidemiologis dan medis, serta membuat indikator dan parameter yang terukur secara obyektif. Hal ini akan menjadi basis acuan sistem-sistem yang akan dijalankan dengan melibatkan organisasi profesi kedokteran (IDI) dan kesehatan serta ahli di bidang epidemiologi untuk melakukan penilaian secara komprehensif.
"Evaluasi penanganan secara nasional dan per wilayah harus dibedakan, sehingga fokus intervensi berdasar evaluasi berbasis data yang kuat serta memperhitungkan kearifan lokal dan karakter masyarakat di wilayah tersebut," jelas Adib.
Pemerintah juga diminta untuk meningkatkan upaya komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat terkait dengan protokol kesehatan di era pandemi Covid-19, serta upaya promotif preventif secara sistematis dan massif dengan melibatkan peran serta masyarakat secara aktif. Targetnya yaitu untuk mengubah perilaku sehat masyarakat terutama pada daerah-daerah yang potensial outbreak seperti pasar, pabrik dan lain sebagainya.
Dr. Adib juga menegaskan agar pemerintah harus terus mempertegas aturan pemakaian masker dengan memberikan sanksi yang tegas di dalam segala aktifitas masyarakat. Bagi masyarakat yang bekerja dengan menggunakan transportasi umum, disarankan untuk melakukan pengamanan ganda.
"Masker dan face shield lebih aman, dan physical distancing harus ada," kata Dr. Adib.
Adapun, politikus Partai Gerindra Fadli Zon mengaku cemas apabila kebijakan new normal diterapkan lantaran secara epidemiologis Indonesia sebenarnya masih berada dalam zona merah pandemi. Ia memaparkan ada tiga alasan kebijakan tersebut dianggap buruk.
Pertama, Fadli menganggap otorisasi dan organisasi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah kacau. Menurutnya di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2020, seharusnya penetapan PSBB menjadi kewenangan Kementerian Kesehatan. Namun, dalam praktiknya malah dipegang oleh Gugus Tugas.
"Hasilnya sudah bisa kita lihat. Dari 102 wilayah yang diperbolehkan new normal oleh Gugus Tugas, misalnya, tak ada satupun kota di Jawa yang masuk rekomendasi, kecuali Tegal. Tapi anehnya, Gubernur Jawa Barat sudah mengumumkan per 1 Juni kemarin ada 15 daerah di Jawa Barat yang boleh menerapkan new normal. Ini kan jadi kacau otorisasinya," kata Fadli dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Rabu (3/6).
Kemudian yang kedua, Fadli menuturkan bahwa data yang disampaikan pemerintah keliru. Menurutnya, data yang kerap disampaikan pemerintah untuk menunjukkan bahwa angka reproduksi Covid-19 sudah terkendali adalah angka yang ada di Jakarta.
"Menggunakan tren perbaikan R0 dan Rt di DKI Jakarta sebagai dasar untuk menggaungkan kebijakan new normal” di level nasional jelas misleading," ujarnya.
Selain itu, menurutnya, tren cenderung membaiknya angka Covid-19 di DKI Jakarta perlu dikritisi. Fadli memandang tren penurunan itu harus dihubungkan dengan dibukanya keran mudik oleh pemerintah menjelang lebaran kemarin.
"Menurut data Jasa Marga, tercatat ada 465.582 kendaraan keluar dari Jakarta dalam rentang waktu H-7 hingga H-1 sebelum lebaran kemarin. Dari jumlah tersebut, menurut Polda Metro Jaya, hanya sekitar 25 ribu kendaraan saja yang bisa dihalau untuk putar balik. Artinya, secara de facto terjadi arus mudik pada lebaran kemarin. Sehingga, tren penurunan kasus baru dan tingkat penularan Covid-19 di DKI belum menggambarkan kondisi normal yang sesungguhnya," jelasnya.
Ketiga, anggota Komisi I DPR itu menilai basis data pemerintah tak proporsional. Berdasarkan data yang ia kutip dari Worldmeter, Indonesia memiliki tingkat pengujian yang terburuk di antara negara-negara yang paling terpengaruh oleh Covid-19. Ia menuturkan, sejauh ini pemerintah Indonesia hanya bisa melakukan 967 tes untuk setiap 1 juta penduduk.
"Bandingkan dengan Amerika Serikat yang melakukan 46.951 tes untuk tiap 1 juta penduduk, Singapura yang mencapai 57.249 per 1 juta penduduk, atau Malaysia yang berada di angka 16.083 per 1 juta penduduk," ujarnya.
Wakil ketua umum Partai Gerindra itu mensimulasikan jika penduduk Indonesia 273 juta, per pekan seharusnya ada tes bagi 273 ribu penduduk. Dalam 12 pekan sejak kasus pertama ditemukan pada awal Maret lalu, kita mestinya sudah melakukan 3.276.000 tes.
"Kalau meniru pola Korea Selatan, yang melakukan tes terhadap 0,6 persen penduduk, maka dengan jumlah penduduk 273 juta, kita seharusnya sudah melakukan tes terhadap 1.638.000 orang," jelasnya.