REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat hak asasi manusia (HAM), Haris Azhar, menilai pengadilan dalam kasus penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan rekayasa belaka. Hal ini terbukti dari tuntutan satu tahun penjara terhadap dua orang terdakwa yang melakukan penyiraman air keras.
"Keduanya dipasang untuk mengakhiri polemik kasus Novel yang tidak kunjung jelas. Nuasa rekayasa sangat kental. Terbukti, sebagaimana ciri pengadilan rekayasa," ujar Haris kepada Republika, Kamis (11/6).
Direktur Eksekutif Lokataru itu mengungkapkan sejumlah keanehan yang terjadi selama persidangan. Pertama, pengacara dari kedua terdakwa berasal dari unsur kepolisian, yang kemungkinan menimbulkan konflik kepentingan.
Kedua, hasil dokter yang menyatakan Novel diserang air keras tidak digunakan dalam persidangan. Jaksa menyebut dalil soal air keras hanya berasal dari pengakuan kedua terdakwa.
"Tanpa bukti forensik apa pun. CCTV tidak dihadirkan dalam persidangan. Padahal, sejak awal penanganan, polisi klaim sudah mendapati hasil CCTV sekitar wilayah tempat tinggal," ujar Haris.
Selain itu, Haris sejak awal sudah meragukan kedua pelaku penyerangan Novel. Pasalnya, berdasarkan hasil investigasinya, ciri-ciri pelaku tidaklah sama dengan kedua terdakwa.
"Jadi, tuntutan rendah ini aneh, tapi wajar. Aneh, karena kejahatan yang kejam hanya dituntut rendah jika mereka diyakini pelaku. Wajar, ya karena memang sekedar boneka saja," ujar Haris.
Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette selaku dua orang terdakwa penyerang penyidik KPK Novel Baswedan diketahui dituntut 1 tahun penjara. Jaksa menilai keduanya terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.