Kamis 18 Jun 2020 04:40 WIB

Sampai Kapankah Orang Tua Wajib Nafkahi Anak-Anaknya?

Fiqih Islam memberikan batasan orang tua wajib menafkahi anaknya.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Fiqih Islam memberikan batasan orang tua wajib menafkahi anaknya. Ilustrasi orang tua dan anak.
Foto: istimewa
Fiqih Islam memberikan batasan orang tua wajib menafkahi anaknya. Ilustrasi orang tua dan anak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Menafkahi anak adalah kewajiban dan tanggung jawab orang tua. Dalam Islam, secara umum kewajiban ini dipikul masing-masing orang tua.    

Ustadzah Maharati Marfuah, Lc dalam bukunya "Hukum Fiqih Seputar Nafkah", mengatakan perintah nafkah orang tua kepada anak, dalilnya adalah ijma para ulama.  

Baca Juga

Ibnul Mundzir mengatakan, “Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta.“ Dalam hadits sahih riwayat Ibnu Hibban disebutkan demikian:  

أمرَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ بالصَّدقةِ ، فقالَ رجلٌ : يا رسولَ اللَّهِ ، عِندي دينارٌ ، فقالَ : تصدَّق بِهِ على نفسِكَ ، قالَ : عِندي آخرُ ، قالَ : تصدَّق بِهِ على ولدِكَ ، قالَ : عندي آخرُ ، قالَ : تصدَّق بِهِ على زوجتِكَ أو قالَ : زوجِكَ ، قالَ : عندي آخرُ ، قالَ : تصدَّق بِهِ على خادمِكَ ، قالَ : عندي آخرُ ، قالَ : أنتَ أبصَرُ

"Dari Abi Hurairah RA mengatakan, “Datang seorang laki-laki kepada Nabi seraya bertanya : Wahai Rasulullah saya mempunyai dinar?” Rasul menjawab, ‘Buatlah nafkah untuk dirimu’. Ia mengatakan saya mempunyai yang lain? Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah anakmu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Dia mengatakan, ‘Buatlah untuk nafkah keluargamu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah pembantumu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab,  ‘Anda lebih mengetahui.’ (HR Ibnu Hibban).

Meskipun tentang perinciannya, ada beberapa hal yang dibahas lebih detail, terkait sampai kapan anak itu mendapatkan nafkah dari orang tuanya, bagaimana jika anak itu miskin, apakah sama antara laki-laki dan perempuan? 

Menurut Ustadzah Maharati Marfuah, ada dua batasan untuk keadaan anak terkait wajib tidaknya nafkah dari orang tuanya. Batasan pertama, usia, apakah anak sudah baligh ataukah belum?   

Batasan kedua, harta, apakah anak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya ataukah tidak memiliki harta, sehingga masih bergantung kepada orang lain?  Dari dua batasan ini, kata dia, kita bisa mengelompokkan anak menjadi empat kategori berikut ini:  

1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta

2. Anak yang belum baligh dan memiliki harta

3. Anak yang sudah baligh dan memiliki harta

4. Anak yang sudah baligh dan tidak memiliki harta

Dari empat katagori itu, kata Ustazah Maharati Marfuah, masing-masing memiliki hukum yang berbeda terkait kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya. Pertama, anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta.  

"Mayoritas ulama berpendapat bahwa memberi nafkah anak yang belum baligh hukumnya wajib atas orangtua yang mampu," katanya.  

Imam al-Jassash al-Hanafi menyebutkan, orang tua yang fakir tidak dipaksa untuk memberi nafkah kecuali jika orang tua itu bapak, dia wajib dipaksa untuk memberi nafkah kepada  anaknya yang masih kecil, kepada istrinya dan kepada ibunya yang fakir. 

Imam Ibnul Mundzir (w 319 H), bahwa para ulama telah sepakat bahwa nafkah anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta ditanggung oleh ayahnya. Ibnul Mundzir mengatakan ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta. 

Imam az-Zailaghi (w 743 H) menyebutkan: “Wajib memberi nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya yang kecil dan fakir. Pembatasan masih kecil dan fakir ini maksudnya jika anak itu meski masih kecil atau sudah besar tapi kaya maka tak wajib dinafkahi. Seorang anak laki-laki yang sudah baligh, dia sehat maka bapaknya tak wajib memberinya nafkah, juga tak wajib kepada kerabat yang lain. Kedua dan ketiga, anak belum baligh atau sudah  baligh yang memiliki harta. 

Imam az-Zailaghi (w 743 H) al-Hanafi menyebutkan: "Wajib memberi nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya yang kecil dan fakir."

photo
Anak-anak melakukan sungkem kepada orang tua. Ilustrasi. (Republika/ Wihdan)

Pembatasan masih kecil dan fakir ini, kata  Ustadzah Maharati Marfuah, maksudnya jika anak itu meski masih kecil atau sudah besar tapi kaya maka tak wajib dinafkahi. Seorang anak laki-laki yang sudah baligh, dia sehat maka bapaknya tak wajib memberinya nafkah, juga tak wajib kepada kerabat yang lain.

Sebagaimana Imam ad-Dusuqi al-Maliki menyebutkan: “Waktu selesainya kewajiban membari nafkah adalah ketika sudah baligh, dengan syarat anak tersebut tidak gila dan lumpuh.” Lihat: Muhammad bin Ahmad ad-Dusuqi al-Maliki (w 1230 H).

Para ulama menegaskan, apabila anak memiliki harta yang cukup untuk menutupi seluruh kebutuhannya, maka ayahnya tidak wajib menanggung nafkahnya.  

As-Shan’ani juga mengatakan, "Jika mereka memiliki harta, maka tidak ada  kewajiban nafkah atas ayahnya.” (Subulus Salam, 2/325).

Maka, jika anak itu memiliki harta, orang tua tak wajib menafkahi anaknya. Tidak wajib bukan berarti tidak boleh. Kalau masih tetap dikasih nafkah, itu juga bagus.

Keempat, anak sudah baligh yang tidak memiliki harta. Tentu banyak di antara kita yang secara umur sudah baligh, tapi tidak punya harta dan tak berpenghasilan. Seperti anak yang sudah masuk bangku kuliah. 

Untuk keadaan keempat ini, ulama membagi dua yaitu:

1. Anak perempuan. Mereka wajib dinafkahi ayahnya hingga dia menikah  

2. Anak laki-laki, ulama berbeda pendapat, apakah anak 

laki-laki sudah baligh yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, wajib dinafkahi ayahnya ataukah tidak.  

Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban nafkah hanya sampai usia baligh untuk anak laki-laki dan sampai nikah untuk anak perempuan.

As-Shan’ani menuliskan: “Sementara mayoritas ulama berpendapat, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu, tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anaknya sakit-sakitan.” (Subulus Salam, 2/325).

Pendapat kedua, orang tua tetap wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, meskipun sudah baligh. 

Di antara ulama yang memilih pendapat ini adalah al-Mardawi. Dalam kitabnya al-Inshaf beliau menyebutkan. "Termasuk yang wajib dinafkahi seseorang adalah bapaknya, kakeknya dan seterusnya ke atas. Serta anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah. Kemudian beliau menjelaskan, yang dimaksud ‘anaknya, cucunya dan  seterusnya ke bawah’ mencakup anaknya yang sudah besar (baligh), yang sehat, kuat, jika mereka fakir (tidak memiliki harta dan pekerjaan). Inilah pendapat yang kuat.”

Hal ini berbeda jika ternyata anak yang sudah baligh tersebut sibuk mencari ilmu sampai tak ada waktu untuk menghasilkan uang sendiri. Maka orang tua tetap wajib memberikan nafkah kepada anak tersebut.

Disebutkan dalam kitab Hasyiyah  al-Baijuri: “Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak  lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja.” 

Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa  anak yang mampu bekerja ini masuk kategori  anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syariat dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika dia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalamkeadaan demikian dia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement