REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Grup musik rock asal Inggris, The Rolling Stones, melarang Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutar lagu mereka lagi tanpa izin. Jika Trump terus melakukannya, band tidak segan mengajukan tuntutan hukum.
Peringatan Rolling Stones muncul setelah Trump berulang kali memakai lagu-lagu mereka sebagai latar musik di acara politik. Tidak hanya Rolling Stones yang melancarkan protes, tapi juga Adele, Neil Young, dan Steven Tyler karena alasan sama.
Trump memutarkan lagu "You Can’t Always Get What You Want" dan "Start Me Up" karya Rolling Stones selama kampanye kepresidenan 2016. Setelah memenangkan Pilpres pada 2017, dia memasuki panggung konser inaugurasi sambil memutar lagu "Heart Of Stone".
Para personel Rolling Stones kontan tidak terima karena pemutaran lagu itu bisa memberikan pemahaman yang salah mengenai kecenderungan politik band. Tim legal grup veteran itu bekerja sama dengan BMI, organisasi yang mengurusi hak penampil.
BMI telah memberi tahu tim kampanye Trump bahwa setiap penggunaan ilegal musik Rolling Stones merupakan pelanggaran lisensi. Jika itu terus dilakukan, Trump dan timnya akan menghadapi tuntutan hukum karena melanggar embargo.
Menurut mantan promotor Rolling Stones, Michael Cohl, kampanye 2016 merupakan langkah kesekian kali dari band untuk menghindari afiliasi dengan Trump. Mereka merasa 'kapok' setelah konser di Atlantic City pada 1988 disponsori salah satu kasino Trump.
Saat itu, Trump mengambil alih ruang pers band setelah pertunjukan untuk mengadakan konferensi persnya sendiri. Cohl mengatakan insiden tersebut membuat Keith Richards mengamuk, sampai membanting pisau miliknya ke meja.
"Dia (Richards) mengatakan, 'Apa gunanya kami bekerja sama denganmu? Apakah aku harus pergi ke sana sendiri untuk mengakhiri ini? Salah satu dari kami harus meninggalkan gedung ini, entah dia atau kami'," kata Cohl, dikutip dari laman NME, Ahad (28/6).