Jumat 03 Jul 2020 20:54 WIB

Emil Salim: Normal Baru Bukan Normal Seperti Kemarin-Kemarin

Normal baru harus lebih frontal, mencakup semua aspek kehidupan masyarakat.

Anggota Kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Emil Salim
Foto: Antara
Anggota Kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Emil Salim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Emil Salim mengatakan dampak Covid-19 bukan hanya terkait masalah kesehatan, tetapi juga masalah-masalah lain. Karena itu, penerapan normal baru seyogyanya tidak dilakukan dengan cara biasa seperti kemarin-kemarin, tetapi harus lebih frontal.

"Bahwa ada hal-hal yang perlu kita tangani lebih frontal, masalah kemiskinan, masalah ketertinggalan infrastruktur dan masalah-masalah sebagai-sebagainya," kata Emil dalam diskusi webinar bertajuk, Polemik: Sains, Covid-19 dan Komunikasi Publik yang diselenggarakan Forum Merdeka Barat 9, di Jakarta, Jumat (2/7).

Baca Juga

Ia mengatakan dampak virus SARS-CoV-2, penyebab Covid-19, mengakibatkan pola hidup social distancing atau menjaga jarak membawa pengaruh kepada social change atau perubahan sosial. Karena itu, kebijakan tatanan normal baru sepatutnya tidak dilaksanakan dengan langkah seperti yang dilakukan sebelum ada Covid-19. 

Selain itu, kebijakan tatanan normal baru seharusnya tidak hanya mengedepankan pendekatan dari sisi kesehatan, tetapi juga mencakup semua sektor yang menopang kehidupan masyarakat.

Untuk itu, para ilmuwan, tidak hanya ilmuwan di bidang kesehatan, tetapi ilmuwan dari bidang-bidang lainnya, diajak untuk memahami bahwa pandemi Covid-19 bukan sekadar terkait masalah penyakit, masalah kesehatan, tetapi juga mencakup aspek lain yang membawa dampak sosial lebih besar. Dalam perkembangan penanganan ke depan, sangat penting untuk dipahami oleh semua ilmuwan bahwa persiapan normal baru tidak memerlukan cara-cara lama seperti 2019 atau dengan cara-cara yang biasa-biasa saja.

Ia mengatakan persiapan normal baru harus lebih frontal, mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. "DPR harus paham bahwa masyarakat 2020 setelah COVID-19 tidak sama dengan kebutuhan masyarakat 2019. Karena itu bermacam-macam persiapan perundang-undangan. Kemarin itu Minerba (Pertambangan Mineral dan Batubara), keliru kalau menganggap bahwa minerba meneruskan 2019. No, 2020 lain. Keliru kalau menganggap bahwa UU Cipta Kerja seperti cipta kerja meneruskan 2019. No, salah. Ada perbedaan, perubahan di dalam hal ini," katanya.

Ia mengajak pemerintah untuk membuat langkah-langkah penyesuaian yang lebih efektif sesuai dengan kondisi yang ada setelah pandemi COVID-19 terjadi di Indonesia. "Maka timbul pertanyaan apakah Republik Indonesia memiliki sarana yang memadai untuk menampung perubahan ini? Bagaimana persediaan air di seluruh desa saat kebersihan tangan dianggap penting? Bagaimana dengan ketersediaan listrik untuk menghidupkan komunikasi? Bagaimana persiapan telekomunikasi digital agar digital learning bisa berjalan?," kata dia.

"COVID-19 ini bukan hanya masalah kesehatan. Dia adalah masalah yang mempunyai dampak besar. Dia menghendaki pandangan pembangunan di mana listrik dan telekomunikasi menjadi dasar dari social infrastructure, landasan infrastruktur sosial. Tanpa air, tanpa listrik, tanpa telekomunikasi, masyarakat yang kita idam-idamkan selamat dari virus tidak bisa kita bangun," katanya.

Ia mengajak semua pihak untuk mencari solusi kebijakan yang lebih berani dan sesuai dengan dampak yang dialami masyarakat saat ini. "Dengan demikian kita siap menghadapi virus itu secara frontal. Bukan hanya dari sudut kesehatan dengan dia punya obat-obatan, tapi juga mental kita siap menghadapi virus. Itu yang perlu kita tundukkan bersama," kata Emil Salim.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement