REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin tak menandatangani surat izin rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III terkait kasus buron kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai hal tersebut berlebihan.
Menurut Lucius, rapat pada masa reses merupakan hal yang lumrah di parlemen. Apalagi, jika tema pembahasan rapat merupakan hal yang sangat penting dan mendesak.
"Nampaknya terlalu berlebihan karena praktik rapat pada saat reses sudah pernah terjadi, bukan hanya sehari tetapi hampir sepanjang masa reses yakni pada masa sidang III lalu," ujar Lucius saat dihubungi, Senin (20/7).
Pimpinan DPR juga dapat memanggil Badan Musyawarah (Bamus) dan juga berkonsultasi dengan pimpinan fraksi, jika ingin melaksanakan rapat di masa reses. Sehingga, alasan Azis yang tak ingin melanggar Tata Tertib (Tatib) DPR tidak sepenuhnya tepat.
"Dengan begitu terlihat jika Azis menolak memberikan izin karena isu yang mau dibicarakan tentang kasus Djoko Tjandra, bukan karena alasan tatib," ujar Lucius.
Lucius tak menerima dalih Azis yang berusaha mematuhi Tatib DPR. Sebab, DPR dinilainya juga melanggar Tatib DPR ketika membahas sejumlah RUU.
"Padahal ada begitu banyak kejadian dimana aturan Tatib nampak dilanggar DPR dengan alasan yang terkesan dipaksakan," ujar Lucius .
Sebelumnya, diketahui Azis menolak tanda tangan setelah diungkapkan oleh Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery. Rapat yang dimaksud merupakan permohonan Komisi III untuk menjalankan fungsi pengawasan, usai menerima dokumen berupa surat jalan buronan Djoko Tjandra dari Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI).
“Sebagai informasi, Ketua DPR telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP tersebut pada masa reses hari Selasa depan (pekan ini). Maka dari itu, Ketua DPR mendisposisi izin tersebut kepada Wakil Pimpinan DPR bidang Korpolkam,” kata Herman.
Namun, Azis Syamsuddin membantah tudingan menolak menandatangani surat yang diberikan Komisi III terkait Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Aparat Penegak Hukum seperti Polisi, Kejaksaan dan Kemenkumham.
"Saya menjalankan tatib dan keputusan bamus (Badan Musyawarah)," kata Aziz melalui pesan singkatnya pada Republika, Sabtu (18/7).
Azis menjelaskan, sesuai Tatib DPR Pasal 52 ayat 5, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf e, Bamus DPR dapat menentukan jangka waktu penanganan suatu rancangan undang-undang.
Bamus DPR juga dapat memperpanjang waktu penanganan suatu rancangan undang-undang. Kemudian, Bamus bisa mengalihkan penugasan kepada alat kelengkapan DPR lainnya apabila penanganan rancangan undang-undang tidak dapat diselesaikan setelah perpanjangan. Lalu, Bamus dapat menghentikan penugasan dan menyerahkan penyelesaian masalah kepada rapat paripurna DPR.
"Di Bamus sudah ada perwakilan masing-masing fraksi, sehingga informasi kesepakatan dan keputusan yang terjadi bisa dikoordinasikan di fraksi masing-masing. Hal ini penting agar komunikasi dan etika terjalin dengan baik" ujarnya.