Sabtu 15 Aug 2020 08:07 WIB

Hijrah Pertama ke Abisinia: Berlindung ke Kaisar Najasyi

Hijrah pertama ke Abisina (Ethiopia)

Utusan Qurayis Makkah menghadap Kaisar Najasi di Abisinia (Ethiopia) (Ilustrasi).
Foto: wikwand
Utusan Qurayis Makkah menghadap Kaisar Najasi di Abisinia (Ethiopia) (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Inilah kisah Hijrah pertama kala Muslim terpaksa harus pergi ke Abisina (kekaisaran Ethopia) karena tekanan kaum Quraisy yang sangat luar biasa. Sebagaian kaum Muslim pada masa awal di Makkah memilih meminta perlindungan ke Kaisar Abisina, Najasi. Dia memang penganut Kristen. Namun, dia menolak dan terus melindungi Muslim Makkah meski utusan Quraisy meminta agar dia melepaskannya.

Kisah ini ada pada bagian buku legendaris 'Sejarah Hidup Muhammad' karya penulis terkemuka Mesir, Muhammad Husain Haekal. Tulisannya begini:

-------------

Gangguan terhadap kaum Muslimin makin menjadi-jadi, sampai-sampai ada yang dibunuh, disiksa dan semacamnya. Waktu itu Muhammad menyarankan supaya mereka terpencar-pencar. Ketika mereka bertanya kepadanya kemana mereka akan pergi, mereka diberi nasehat supaya pergi ke Abisinia yang rakyatnya menganut agama Kristen. “Tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiaya disitu. Itu bumi jujur; sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua.”

Sebagian kaum Muslimin ketika itu lalu berangkat ke Abisinia guna menghindari fitnah dan tetap berlindung kepada Tuhan dengan mempertahankan agama. Mereka berangkat dengan melakukan dua kali hijrah. Yang pertama terdiri dari sebelas orang pria dan empat wanita. Dengan sembunyi-sembunyi mereka keluar dari Makkah mencari perlindungan. Kemudian mereka mendapat tempat yang baik di bawah Najasyi.

Bilamana kemudian tersiar berita bahwa kaum Muslimin di Makkah sudah selamat dari gangguan Quraisy, merekapun lalu kembali pulang, seperti yang akan diceritakan nanti. Tetapi setelah ternyata kemudian mereka mengalami kekerasan lagi dari Quraisy melebihi yang sudah-sudah, kembali lagi mereka ke Abisinia. Sekali ini terdiri dari delapanpuluh orang pria tanpa kaum isteri dan anak-anak. Mereka tinggal di Abisinia sampai sesudah hijrah Nabi ke Yathrib.

Hijrah ke Abisinia ini adalah hijrah pertama dalam Islam.

Sudah pada tempatnya bagi setiap penulis sejarah Muhammad akan bertanya: Adakah tujuan hijrah yang dilakukan kaum Muslimin atas saran dan anjurannya itu karena akan melarikan diri dari orang-orang kafir Mekah beserta gangguan yang mereka lakukan, ataukah karena suatu tujuan politik Islam, yang di balik itu dimaksudkan oleh Muhammad dengan tujuan yang lebih luhur?

Sudah pada tempatnya pula apabila penulis sejarah Muhammad itu akan bertanya tentang hal ini, setelah terbukti dari sejarah Nabi berbangsa Arab ini dalam seluruh fase kehidupannya, bahwa dia seorang politikus yang berpandangan jauh, seorang pembawa risalah dan moral jiwa yang begitu luhur, sublim dan agung yang tak ada taranya. Dan yang menjadi alasan dalam hal ini ialah apa yang disebutkan dalam sejarah, bahwa penduduk Makkah tidak suka hati ada kaum Muslimin yang pergi ke Abisinia.

Bahkan mereka kemudian mengutus dua orang menemui Najasyi. Mereka membawa hadiah-hadiah berharga guna meyakinkan raja supaya dapat mengembalikan kaum Muslimin itu ke tanah air mereka. Pada waktu itu penduduk Abisinia dan penguasanya adalah orang-orang Nasrani. Dari segi agama orang-orang Quraisy tidak kuatir bahwa mereka akan ikut Muhammad.

Disebabkan oleh rasa kegelisahan terhadap peristiwa itukah maka mereka lalu mengutus orang, meminta supaya kaum Muslimin itu dikembalikan? Mereka menganggap, bahwa perlindungan Najasyi terhadap mereka setelah mendengar keterangan mereka itu akan membawa pengaruh juga kepada penduduk jazirah Arab sehingga mereka akan mau menerima agama Muhammad dan mau  menjadi pengikutnya. Ataukah mereka kuatir, kalau kaum Muslimin menetap di Abisinia, mereka akan bertambah kuat, sehingga bila kelak mereka pulang kembali membantu Muhammad, mereka kembali dengan kekuatan, harta dan tenaga?

Kedua orang utusan itu ialah ‘Amr bin’l-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’a. Kepada Najasyi dan kepada para pembesar istana mereka mempersembahkan hadiah- hadiah dengan maksud supaya mereka sudi mengembalikan orang-orang yang hijrah dari Mekah itu kepada mereka.

“Paduka Raja,” kata mereka, “mereka datang ke negeri paduka ini adalah budak- budak kami yang tidak punya malu. Mereka meninggalkan agama bangsanya dan tidak pula menganut agama paduka; mereka membawa agama yang mereka ciptakan sendiri, yang tidak kami kenal dan tidak juga paduka. Kami diutus kepada paduka oleh pemimpin-pemimpin masyarakat mereka, oleh orang- orang tua, paman mereka dan keluarga mereka sendiri, supaya paduka sudi mengembalikan orang-orang itu kepada mereka.Mereka lebih mengetahui betapa orang-orang itu mencemarkan dan memaki-maki.”

Sebenarnya kedua utusan itu telah mengadakan persetujuan dengan pembesar- pembesar istana kerajaan, setelah mereka menerima hadiah-hadiah dari penduduk Mekah, bahwa mereka akan membantu usaha mengembalikan kaum Muslimin itu kepada pihak Quraisy. Pembicaraan mereka ini tidak sampai diketahui raja. Tetapi baginda menolak sebelum mendengar sendiri keterangan dari pihak Muslimin. Lalu dimintanya mereka itu datang menghadap

“Agama apa ini yang sampai membuat tuan-tuan meninggalkan masyarakat tuan-tuan sendiri, tetapi tidak juga tuan-tuan menganut agamaku, atau agama lain?” tanya Najasyi setelah mereka datang.

Yang diajak bicara ketika itu ialah Ja’far bin Abi Talib.

“Paduka Raja,” katanya, “ketika itu kami masyarakat yang bodoh, kami menyembah berhala, bangkaipun kami makan, segala kejahatan kami lakukan, memutuskan hubungan dengan kerabat, dengan ketanggapun kami tidak baik; yang kuat menindas yang lemah. Demikian keadaan kami, sampai Tuhan mengutus seorang rasul dari kalangan kami yang sudah kami kenal asal- usulnya, dia jujur, dapat dipercaya dan bersih pula. Ia mengajak kami menyembah hanya kepada Allah Yang Maha Esa, dan meninggalkan batu-batu dan patung-patung yang selama itu kami dan nenek-moyang kami menyembahnya."

"Ia menganjurkan kami untuk tidak berdusta untuk berlaku jujur serta mengadakan hubungan keluarga dan tetangga yang baik, serta menyudahi pertumpahan darah dan perbuatan terlarang lainnya. Ia melarang kami melakukan segala kejahatan dan menggunakan kata-kata dusta, memakan harta anak piatu atau mencemarkan wanita-wanita yang bersih. Ia minta kami menyembah Allah dan tidak mempersekutukanNya. Selanjutnya disuruhnya kami melakukan salat, zakat dan puasa. [Lalu disebutnya beberapa ketentuan Islam]".

"Kami pun membenarkannya. Kami turut segala yang diperintahkan Allah. Lalu yang kami sembah hanya Allah Yang Tunggal, tidak mempersekutukan-Nya dengan apa dan siapa pun juga. Segala yang diharamkan kami jauhi dan yang dihalalkan kami lakukan. Karena itulah, masyarakat kami memusuhi kami,  menyiksa kami dan menghasut supaya kami meninggalkan agama kami dan kembali menyembah berhala; supaya kami membenarkan segala keburukan yang pernah kami lakukan dulu.

"Oleh karena mereka memaksa kami, menganiaya dan menekan kami, mereka menghalang-halangi kami dari agama kami, maka kamipun keluar pergi ke negeri tuan ini. Tuan jugalah yang menjadi pilihan kami. Senang sekali kami berada di dekat tuan, dengan harapan di sini takkan ada penganiayaan.”

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement