REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Dedi Hardianto menilai kalangan buruh sering dimanfaatkan saat memasuki tahun politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada). Kapasitas tokoh-tokoh buruh kerap dimanfaatkan karena dinilai berpengaruh untuk meningkatkan dukungan bagi calon kepala daerah.
"Buruh masuk dalam tahun politik masuk dalam kapasitas dimanfaatkan, dalam artian, ada serikatnya, ada tokoh buruhnya, tapi apabila tokoh buruhnya kuat sangat mempengaruhi untuk mendulang suara," ujar Dedi dalam diskusi daring, Rabu (19/8).
Menurutnya, dalam pilkada, suara buruh cukup signifikan dan memengaruhi dukungan bagi pasangan calon kepala daerah. Ia menceritakan, dalam era reformasi, dukungan buruh dalam pilkada dimulai pada pemilihan gubernur DKI Jakarta 2012 lalu.
Kala itu, kelompok buruh menitipkan pesan kepada pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Ada sejumlah poin kebijakan terkait buruh dan kesejahteraan buruh yang harus diperjuangkan calon kepala daerah itu.
"Lalu kemudian kita dukung presiden ketika kita mendukung Pak Jokowi dan Jusuf Kalla dan Jokowi-Ma'ruf, ini pola-pola serikat buruh tapi saat itu pecah soalnya ada serikat buruh lain mendukung Prabowo," kata Dedi.
Ia mengatakan, dukungan itu bisa berujung pada kesepakatan-kesepakatan dan isu antara calon dan kaum buruh. Akan tetapi, kata dia, kaum buruh tetap perlu mempertimbangkan rekam jejak calon kepala daerah yang didukung.
Dedi menyebutkan, pada akhirnya dukungan buruh memang tidak efektif untuk memperjuangkan nasib buruh karena hanya beberapa poin saja yang diwujudkan. Maka, pada 2015, serikat buruh sempat membentuk partai alternatif, tetapi karena biaya tinggi, partai tak pernah terwujud.
"Dan hari ini serikat pekerja hanya bisa memberikan dukungan, belum bisa berbuat lebih banyak," ujarnya.
Menurut Dedi, buruh-buruh masih perlu melakukan konsolidasi untuk memperjuangkan nasib buruh apalagi pandemi Covid-19 yang membuat beberapa pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, di tengah pandemi Covid-19 ini, kelompok buruh tak dapat leluasa berkumpul karena sejumlah pembatasan dan protokol kesehatan.
"Soal dukung mendukung di serikat buruh kami tidak bisa berkumpul seperti sebelum ada Covid seperti kami undang tokoh-tokoh buruh untuk bicara konsep bagaimana perburuhan di suatu daerah itu tidak bisa, paling lewat sosial media kami sampaikan," lanjut Dedi.