REPUBLIKA.CO.ID, Sejak kelahirannya 14 Mei 1948, Negara Israel secara tegas menyatakan bahwa salah satu dasar pendirian Negara tersebut adalah hak sejarah (historical right).
Mereka merasa berhak atas wilayah yang mereka tinggalkan sekitar 1900 tahun yang lalu, sebab mereka pernah berkuasa dalam beberapa periode di wilayah yang juga mencakup Yerussalem Timur itu.
Sebagai implementasinya, mereka sejak awal-awal pendirian Negara mengesahkan hukum Kembali (law of return), yakni hak setiap orang yang memiliki nenek atau kakek Yahudi untuk menjadi warga Negara Israel secara otomatis begitu mereka tiba di Israel.
Kaitan masa lalu juga ternyatakan secara simbolik namun cukup jelas dalam lambang Negara Menorah. Mengutip wikipeedia, menorah adalah kata bahasa Ibrani untuk kandil atau kaki dian disebut juga "kaki pelita" atau "pelita" saja; bahasa Ibrani: מנורה - menôrâh.
Dalam rangka pembangunan kemah suci memerintahkan untuk membuat sebuah "menorah", yaitu "kandil" atau "kaki pelita", berhias terbuat dari emas. Sidang Parlemen Sementara Israel pada 1948, menyuarakan harus ada hubungan yang tegas antara masa lalu dan sekarang.
Israel modern dalam logika ini adalah kontinuitas sejarah dari kekuasaan Israel Kuno. Menorah adalah sarana ritual Yahudi yang ditempatkan pada holy of holiest yakni ruang utama kuil Sulaiman. Penopang Menorah pun harus ada kaitan dengan Raja Titus Romawi yang memuluhlantahkan Yahudi di Yerussalem tahun 70 Masehi dengan maksud memberikan arti bahwa Israel sekarang tak lain adalah kebangkitan Israel Kuno yang dihancurkan tersebut.
Romantisme ekstem inilah barangkali salah satu faktor penjelas bagi ambisi Israel mengubah Yerussalem menjadi Yahudi. Mereka memaksakan masa lalu itu hadir “sempurna” di masa sekarang dengan menggunakan hampir segala cara. Mereka tidak bersedia mengakui realitas yang telah berubah, padahal perubahan adalah sesuatu yang niscaya.
Pada 2007 lalu misalnya, Israel menggelontorkan anggaran 1,45 miliar dolar AS untuk menciptakan realitas Yahudi di Yerussalem. Jumlah itu luar biasa besar apabila menilik luas wilayah dan jumlah penduduk kota suci itu. Pengalaman menunjukkan secara jelas bahwa politik Israel untuk menciptakan realitas di Yerussalem selama ini selalu menjadi penghambat proses perdamaian.
Pembangunan pemukiman secara besar-besaran di Jabal Abu Ghonim yang dilakukan pada masa Netanyahu dan Ehud Barak menjadi salah satu sebab tersendat-sendatnya proses perundingan Syarm al-Syeikh I dan II. Bahkan turut andil dalam menggagalkan perundingan akhir di Camp David, Maryland, sebab selama proses perundingan Arafat selalu memprotes politik pemaksaan realitas oleh Israel.
Pembangunan pemukiman di wilayah antara Betlehem dan Yerussalem Timur (al-Quds al-Syarqiyah/al-Qadimah) tersebut bertujuan untuk mengisolasi penduduk Arab Yerussalem Timur dari penduduk Arab yang lain, sekaligus melengkapi pemukiman melingkar di pinggiran kota itu
Israel kemudian memikirkan strategi untuk menguasai Yerussalem yang Arab baik secara demografis maupun identitas. Kebijakan yang secara kontinyu diambil pemerintah Israel sejak Levi Eshkol, Golda Meir, Yitzhak Rabin pertama hingga sekarang adalah penciptaan realitas demografis dan identitas Yahudi di Yerussalem dengan terus menunda perundingan mengenai persoalan tersebut.
Tujuannya tidak lain adalah mengubah identitas dan demografi kota Yerussalem yang Arab menjadi Yahudi sebelum terjadinya kesepakatan dalam perundingan dengan Palestina. Inilah kenapa kemudian zionis Israel bersikeras memindahkan ibu kota mereka dari Tel Aviv ke Yerusalem.