REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Ronggo Astungkoro
Suatu waktu, fatwa MA dibutuhkan Djoko Tjandra agar dirinya tak dapat dieksekusi atas vonis 2 tahun penjara dalam perkara korupsi pengalihan hak tagih utang Bank Bali 1999. Untuk itu, Djoko menyiapkan 500 ribu dolar AS sebagai panjar kepada jaksa Pinangki Sirna Malasari yang akan diberikan lewat perantara saksi Andi Irfan Jaya.
Kordinator Pengacara Djoko Tjandra, Soesilo Aribowo menerangkan, Andi Irfan yang menawarkan proposal kepada kliennya, soal misi bebas via fatwa bebas dari MA. Pinangki, dikatakan Soesilo, bagian dari tim dalam proposal misi bebas Djoko Tjandra tersebut.
“Uang itu (untuk Pinangki), urusan dengan Pak Andi. Tapi enggak tahu nyampe atau enggak. Karena lewat orang lain (Andi Irfan),” terang Soesilo, usai mendampingi pemeriksaan Djoko Tjandra di Gedung Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejakgung) di Jakarta, Senin (31/8).
Menurut Soesilo, Andi dan Pinangki menawarkan fatwa MA kepada Djoko Tjandra. Namun, Soesilo mengungkapkan, timnya belum menemukan adanya fakta terkait penerimaan uang kepada Pinangki tersebut. Karena Djoko, kata dia, memberikan uang itu kepada Andi Irfan.
“Jadi itu (pemberian uang kepada Pinangki) melalui orang lain,” ungkap Seosilo.
Soesilo menambahkan, Andi adalah rekanan bisnis Djoko Tjandra. Relasi antara kliennya, dengan Pinangki, terhubung lewat peran Andi Irfan. Sedangkan Andi Irfan, kenal dengan Djoko, lewat seorang saksi lainnya, yakni Rahmad.
Rahmad juga yang membawa tim hukum, yakni Anita Kolopaking agar menjadi konsultan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Sedangkan Pinangki, punya keakraban, dan hubungan pertemanan dengan Anita Kolopaking.
Terkait sejumlah nama tersebut, penyidikan di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) sudah melakukan pemeriksaan. Terhadap Pinangki, dan Djoko Tjandra, sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Keduanya, terikat sebagai penerima, dan pemberian suap dan gratifikasi. Penyidik menjerat Pinangki menggunakan Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11, dan Pasal 12 a atau b, serta Pasal 15 UU Tipikor.
Adapun terhadap Andi Irfan, dan Rahmad, keduanya masih berstatus saksi. Termasuk Anita Kolopaking. Ketiganya, sudah lebih dari dua kali diperiksa. Khusus Anita Kolopaking, status hukum dalam penyidikan di Bareskrim Polri sudah menetapkan dia sebagai tersangka terkait pengurusan surat, dan dokumen palsu untuk Djoko Tjandra. Anita, pun sampai saat ini masih dalam tahanan.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono menyatakan, penyidikan penerimaan suap dan gratifikasi antara jaksa Pinangki Sirna Malasari dan terpidana korupsi Djoko Sugiarto Tjandra belum akan menyasar para pejabat tinggi di Kejakgung, maupun di MA.
Ali menegaskan, proses penyidikan, masih akan mendalami peran Pinangki dan Djoko sebagai tersangka penerima dan pemberi suap dan gratifikasi. Penguatan alat bukti untuk memidanakan kedua tersangka tersebut, kata Ali, masih perlu dimatangkan sebelum dilimpahkan ke direktorat penuntutan, dan ke persidangan.
“Fokusnya dua orang ini (Pinangki, dan Djoko) dulu. Selaku penerima, dan pemberi. Belum ke sana-sana (pejabat kejaksaan dan di mahkamah),” kata Ali, Ahad (30/8).
Ali menerangkan, segala informasi dan arah maju dalam pemeriksaan terhadap Pinangki, dan Djoko, akan menjadi bahan penyidikan pengembangan perkara. Termasuk kata Ali, soal siapa yang menghubungkan, Pinangki, dengan Djoko.
“Kalau antara penerima dan pemberi, itu sudah nyambung. Tetapi, ini semua tergantung perkembangan penyidikan,” terang dia.
Direktur Penyidikan JAM Pidsus Febrie Adriansyah menerangkan, keterkaitan antara petinggi di Kejakgung dan MA, dalam kasus Pinangki dan Djoko memang belum menjadi fokus dalam penyidikan ini. Meskipun, terungkap sejumlah pimpinan di Kejakgung yang mengetahui aksi pergi ke luar negeri Pinangki menemui Djoko, tetapi itu, tak termasuk dalam objek penyidikannya di JAM Pidsus.
“Yang kita sidik itu sangkaan pasalnya, bagaimana dia menerima janji, menerima sejumlah uang. Kalau fakta tentang keberangkatan itu memang ada yang izin, ada yang tidak izin. Yang tidak izin itu, yang dia sudah dikenakan hukuman (sanksi disiplin pencopotan jabatan),” terang Febrie.
Terkait MA, kata Febrie, fakta dari penyidikan, memang terungkap adanya upaya Pinangki, dalam menawarkan, dan mengupayakan penerbitan fatwa bebas untuk Djoko. Akan tetapi upaya penerbitan fatwa tersebut, tak terealiasai, dan batal.
Febrie mengungkapkan, proses membebaskan Djoko dengan cara mengakali sarana hukum tersebut, sempat beralih ke upaya Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel). Namun begitu, Febrie kembali menerangkan, PK tersebut, pun berakhir dengan kegagalan.
“Hingga sampai saat ini, memang kita (penyidik) melihat, belum ada keterkaitannya di sana (MA). Karena ini, baru sebatas antara hubungan Pinangki dengan Djoko Tjandra,” terang Febrie.
Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro, menyatakan pihaknya tidak pernah menerima surat permintaan fatwa dari siapa pun terkait perkara Djoko Tjandra. Menurut Andi, hal tersebut sudah dipastikan oleh MA.
"Setelah kami cek untuk memastikan apakah benar ada permintaan fatwa hukum ke MA terkait perkara Joko S Tjandra, ternyata permintaan fatwa itu tidak ada," ungkap Andi saat dikonfirmasi, Kamis (27/8).
Andi menuturkan, MA memang berwenang memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum. Itu dapat dilakukan baik diminta maupun tidak. Jika tidak diminta, MA hanya berwenang menyampaikan pertimbangannya hanya kepada lembaga tinggi negara.
"Jadi tentu ada surat permintaan resmi dari lembaga atau instansi yang berkepentingan kepada MA. Oleh karena itu MA tidak sembarangan mengeluarkan apakah itu namanya fatwa ataukah pendapat hukum," ujar dia.