REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Mimi Kartika
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyampaikan akan menunda pelantikan pasangan calon yang terpilih sebagai kepala daerah, namun tercatat melakukan tiga kali pelanggaran atau lebih dalam tahapan pilkada. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 23/2014 tentang Pemda, di mana Presiden dapat memerintahkan Mendagri untuk menunda pelantikan kepala daerah selama enam bulan.
Selama enam bulan tersebut, kontestan yang terpilih itupun kemudian akan menjalani pendidikan di jaringan IPDN terlebih dahulu guna dididik sebagai kepala daerah yang baik.
“Kalau nanti ada dalam catatan Bawaslu ada terjadi tiga kali pelanggaran atau lebih oleh 1 kontestan dan kontestan itu terpilih, maka sesuai UU 23/2014 tentang pemda, Presiden dapat memerintahkan Mendagri untuk menunda pelantikan selama 6 bulan dan mereka disekolahkan dulu,” ujar Tito saat konferensi pers di Istana Presiden, Jakarta, Selasa (8/9).
Tito menyebut, terdapat dua faktor yang membuat pasangan calon kepala daerah melanggar protokol kesehatan di dalam tahapan pilkada. Dua faktor tersebut yakni karena pasangan calon memang sengaja melanggar aturan untuk unjuk kekuatan, atau sosialisasi aturan baru yang belum sampai ke pasangan calon.
“Bisa terjadi karena memang sudah diketahui, tadi KPU pun juga sudah menyampaikan aturan-aturan tersebut PKPU ini kepada jajaran masing-masing. Bahkan dari Bawaslu daerah sudah sampaikan surat kepada parpol pendukung paslon. Sehingga kemungkinan kontestan sudah tahu aturan ini tapi sengaja mau show force, unjuk kekuatan sehingga aturan Covid-19 yang diatur dalam PKPU dilanggar,” kata dia.
Selanjutnya, Kemendagri pun memberikan efek jera dengan menegur kontestan yang memiliki status ASN, seperti kepala daerah petahana. Tito menyebut, sebanyak 53 kepala daerah petahana yang melakukan pelanggaran protokol kesehatan pun telah ditegur.
“Hari ini sudah 53 kepala daerah petahana yang ikut berkontestasi dan melakukan kerumunan sosial, itu kami berikan teguran kepada mereka. Ini nanti implikasinya ada,” tambah dia.
Sedangkan bagi kontestan yang bukan dari ASN, sanksi akan diberikan oleh Bawaslu. Ketua Bawaslu Abhan Misbah menyampaikan, terdapat dua sanksi yang disiapkan bagi calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan.
Dua sanksi tersebut yakni sanksi administratif dan juga sanksi pidana. Ia menjelaskan, sanksi administratif ini merupakan kewenangan Bawaslu dan KPU, bisa berupa teguran atau menghentikan proses yang tengah dilakukan oleh pasangan calon.
“Jadi sanksi administratif sifatnya adminsitratif bisa teguran maupun saran perbaikan atau menghentikan sebuah proses yang berjalan,”ujar Abhan saat konferensi pers di Istana Presiden, Jakarta, Selasa (8/9).
Abhan mengatakan, di UU Pilkada Nomor 10/2016 memang tidak mengatur sanksi pidana terkait pelanggaran protokol kesehatan. Namun, Bawaslu bisa melanjutkan atau meneruskan pelanggaran yang terjadi kepada penyidik kepolisian.
“Ini memang wilayah ada pidana umum maka menjadi murni kewenangan penyidik kepolisian, Tugas Bawaslu adalah meneruskan persoalan ini kepada penyidik polisi untuk bisa melakukan tindakan,” jelasnya.
Pelanggaran tersebut, kata dia, dapat dijerat melalui beberapa pasal. Seperti di KUHP Pasal 212 dan 218, di UU Nomor 6/2018 Pasal 93 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Nomor 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
“Berikutnya ada di peraturan bupati/gubernur/wali kota perda masing-masing yang juga mengenakan sanksi administratif dan pidana,” tambah dia.
Adapun, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum berencana mengubah aturan atau bahkan melarang kegiatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berpotensi menyebabkan kerumunan massa, termasuk kampanye. KPU beralasan, kegiatan dengan pertemuan tatap muka dengan sejumlah pihak telah diatur dalam Undang-Undang Pilkada.
"Saya yakin meskipun undang-undangnya demikian, KPU juga sudah mengatur dalam Peraturan KPU dengan pembatasan yang sangat ketat untuk tatap muka yang disertai dengan pemanfaatan teknologi informasi," ujar Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat dihubungi Republika, Selasa (8/9).
Ia mengatakan, sejumlah ketentuan terkait penerapan protokol kesehatan sudah diatur di dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 yang merupakan revisi atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam Covid-19. Setiap kegiatan pilkada termasuk kampanye sudah disesuaikan dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Di sisi lain, muncul usulan terkait sanksi diskualifikasi bagi bakal calon yang berulang kali melanggar protokol kesehatan, hingga larangan kegiatan pilkada yang berpotensi adanya kerumunan massa. Usulan tersebut mesti dipenuhi melalui pengaturan di undang-undang dan/atau PKPU serta Peraturan Bawaslu.
Raka mengatakan, norma pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 sudah cukup mengatur setiap pihak agar mematuhi protokol kesehatan. Menurut dia, saat ini tinggal komitmen semua pihak yang terlibat dalam pilkada untuk mentaati aturan terkait dengan protokol kesehatan secara optimal.
"Kalau praktiknya belum optimal tentu aturannya mungkin tidak perlu diubah, tetapi bagaimana kita bersama-sama berkomitmen untuk melaksanakan, jadi di tiap tahap implementasi menurut saya yang perlu dievaluasi," kata Raka.