Selasa 08 Sep 2020 21:39 WIB

KPU tak Larang Kampanye Meski Berpotensi Munculkan Kerumunan

KPU beralasan, kegiatan dengan pertemuan tatap muka diatur dalam UU Pilkada.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Andri Saubani
Ketua KPU RI Arief Budiman (kiri) bersama Komisioner KPU Ilham Saputra (keempat kiri), Evi Novida Ginting Manik (tengah), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kedua kiri), dan Viryan (kiri) saat melihat data parpol yang sudah tervalidasi untuk mengikuti Pilkada Serentak 2020, di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (1/9/2020) Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pendaftaran pasangan calon Pilkada 2020 pada Jumat (4/9/2020), Sabtu (5/9/2020), dan Minggu (6/9/2020) sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Pilkada Serentak 2020. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Ketua KPU RI Arief Budiman (kiri) bersama Komisioner KPU Ilham Saputra (keempat kiri), Evi Novida Ginting Manik (tengah), I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi (kedua kiri), dan Viryan (kiri) saat melihat data parpol yang sudah tervalidasi untuk mengikuti Pilkada Serentak 2020, di Kantor KPU, Jakarta, Selasa (1/9/2020) Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pendaftaran pasangan calon Pilkada 2020 pada Jumat (4/9/2020), Sabtu (5/9/2020), dan Minggu (6/9/2020) sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Pilkada Serentak 2020. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum berencana mengubah aturan atau bahkan melarang kegiatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang berpotensi menyebabkan kerumunan massa, termasuk kampanye. KPU beralasan, kegiatan dengan pertemuan tatap muka dengan sejumlah pihak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

"Saya yakin meskipun undang-undangnya demikian, KPU juga sudah mengatur dalam Peraturan KPU dengan pembatasan yang sangat ketat untuk tatap muka yang disertai dengan pemanfaatan teknologi informasi," ujar Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi saat dihubungi Republika, Selasa (8/9).

Baca Juga

Ia mengatakan, sejumlah ketentuan terkait penerapan protokol kesehatan sudah diatur di dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 yang merupakan revisi atas PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada serentak lanjutan dalam kondisi bencana nonalam Covid-19. Setiap kegiatan pilkada termasuk kampanye sudah disesuaikan dengan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Di sisi lain, muncul usulan terkait sanksi diskualifikasi bagi bakal calon yang berulang kali melanggar protokol kesehatan, hingga larangan kegiatan pilkada yang berpotensi adanya kerumunan massa. Usulan tersebut mesti dipenuhi melalui pengaturan di undang-undang dan/atau PKPU serta Peraturan Bawaslu.

Raka mengatakan, norma pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 sudah cukup mengatur setiap pihak agar mematuhi protokol kesehatan. Menurut dia, saat ini tinggal komitmen semua pihak yang terlibat dalam pilkada untuk mentaati aturan terkait dengan protokol kesehatan secara optimal.

"Kalau praktiknya belum optimal tentu aturannya mungkin tidak perlu diubah, tetapi bagaimana kita bersama-sama berkomitmen untuk melaksanakan, jadi di tiap tahap implementasi menurut saya yang perlu dievaluasi," kata Raka.

Jika saat pendaftaran pencalonan pada 4-6 September menimbulkan kerumunan massa, maka penindakan hukum harus ditegakkan kepada pihak yang melanggar sesuai aturan berlaku. Peraturan yang berkaitan dengan pemilihan maupun ketentuan terkait penerapan protokol kesehatan itu sendiri.

Menurut Raka, perlu komitmen aparat penegak hukum menindak pelanggaran protokol kesehatan di luar pengaturan tentang pemilihan. Ia mengatakan, penyelenggara pilkada bersama pemerintah dan aparat penegak hukum sudah berkoordinasi terkait penindakan pelanggaran protokol kesehatan ini.

Ia menambahkan, saat pendaftaran pencalonan, KPU hanya dapat memastikan protokol kesehatan dipatuhi oleh jajarannya dan setiap pihak saat berada di kantor KPU. KPU tidak dapat mengatur pelaksanaan protokol kesehatan di luar itu.

"Bagaimana dengan di jalan, apakah orang sepanjang perjalanan itu juga harus ditangani oleh KPU, ini yang perlu kami koordinasikan," kata Raka.

Hal tersebut yang menjadi kekhawatiran dari pendiri sekaligus peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay. Mantan Komisioner KPU RI periode 2012-2017 itu meminta KPU melarang semua kegiatan pilkada yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa, sehingga dilaksanakan melalui daring saja.

Menurut dia, ketika KPU membatasi kampanye rapat umum hanya diikuti 100 peserta, para pendukung yang tidak tertampung justru akan berkumpul di luar arena pelaksanaan kampanye tersebut. KPU pun tidak dapat menjamin para pendukung tidak akan berkerumun di luar tempat kampanye yang telah ditentukan.

Sebab, lanjut Hadar, para pendukung, pasangan calon, serta partai politik akan merasa ingin memperlihatkan kekuatan dukungan mereka. Hal ini juga terlihat saat terjadi iring-iringan massa saat pendaftaran pencalonan.

Apabila bakal pasangan calon berniat mematuhi protokol kesehatan, mereka pasti sudah tegas kepada pendukung agar tidak perlu mengantarkannya mendaftar ke KPU. Bahkan, kata Hadar, calon bisa saja sampai mengancam tidak mau mendaftar jika pendukungnya masih berkerumun di tengah pandemi.

"Jadi menurut saya kita ini tidak mampu mengatur. Sekarang itu dibatasi, itu di tempat diberlangsungkannya. Sedangkan di luar pagarnya, di luar jarak jauh, memang bisa pasti itu sangat sengaja dikumpulin orang di sana, karena mereka merasa ini bisa diperlihatkan, mereka pada mampu, dan sebagainya," tutur Hadar kepada Republika, Senin (7/9).

photo
Kepala Daerah yang Meninggal karena Covid-19 - (Data Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement