REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Adinda Pryanka, Iit Septyaningsih,
Melonjaknya angka kasus positif Covid-19 di DKI Jakarta membuat Gubernur Anies Baswedan akhirnya 'menarik rem darurat' dengan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti awal pandemi. Dilema antara kesehatan dan ekonomi pun kini harus kembali dihadapi oleh pemerintah.
Sebagai ibu kota negara, penerapan PSBB secara ketat di Jakarta tentunya ikut berdampak pada sektor ekonomi nasional. Sebagai ilustrasi, saat PSBB baru berupa pengumuman oleh Anies, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pekan lalu langsung sempat rontok.
Meski sempat menegaskan, bahwa fokus utama pemerintah adalah mengutamakan kesehatan dan keselamatan masyarakat, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga mengakui, pemerintah dikejar waktu untuk membawa perekonomian nasional kembali bangkit. Meski resesi sepertinya menjadi keniscayaan setelah Jakarta kembali menerapkan PSBB, Jokowi pekan ini masih tetap berusaha optimistis.
"Terkait pemulihan ekonomi, kita masih punya waktu sampai akhir September dalam meningkatkan daya ungkit ekonomi kita, meningkatkan daya beli masyarakat, meningkatkan konsumsi rumah tangga di kuartal ketiga ini," ujar Jokowi dalam sambutan rapat terbatas di Kantor Presiden, Senin (14/9).
Jokowi menyampaikan, kunci pemulihan ekonomi nasional adalah capaian kuartal III 2020. Bila pada kuartal ini PDB berhasil tumbuh positif, maka diyakini roda ekonomi akan kembali bergulir kencang pada kuartal selanjutnya.
Kuartal III 2020 memang menjadi momen penentuan, apakah Indonesia masuk dalam zona resesi ekonomi atau justru selamat. Ekonomi nasional hanya mampu tumbuh 2,97 persen pada kuartal I tahun ini, menyusul dimulainya pandemi Covid-19. Kondisinya memburuk pada kuartal II, dengan angka prediksi pertumbuhan ekonomi di level minus 4,3 persen.
Jokowi menilai, belanja pemerintah yang bisa digenjot mampu ikut mendorong konsumsi rumah tangga yang memang sempat anjlok pada kuartal II 2020. Pada akhirnya, daya beli masyarakat bisa ikut meningkat dan pertumbuhan ekonomi perlahan bisa pulih.
Belanja pemerintah ini tak hanya berasal dari kementerian. Namun, pemerintah daerah juga punya andil besar untuk segera mempercepat belanja dari APBD.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sepertinya lebih memilih realistis. Menurutnya, PSBB yang kembali diberlakukan di DKI Jakarta akan menyebabkan kontraksi ekonomi pada kuartal ketiga lebih dalam dari prediksi. Tapi, ia belum bisa menyebutkan angkanya secara detail karena masih harus menunggu pemantauan selama dua pekan.
Semula, Sri memprediksi, pertumbuhan ekonomi pada periode Juli sampai September berada pada rentang nol persen hingga minus 2,1 persen. Batas bawah itu kemungkinan bisa semakin dalam akibat kebijakan PSBB DKI Jakarta yang dilaksanakan sejak awal pekan ini.
"Kita perkirakan, mungkin lower end-nya yang minus 2,1 persen ini bisa lebih rendah dari 2,1 persen," ujarnya dalam doorstop secara virtual, Selasa (15/9).
Sri mengatakan, prediksi ini belajar dari dampak yang terjadi pada Maret lalu, yaitu ketika PSBB secara drastis dilaksanakan di ibu kota. Sebagai efek dari kebijakan tersebut, pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama hanya pada level 2,97 persen, jauh melambat dibandingkan kuartal pertama 2019 yang mampu tumbuh 5,07 persen.
Sri menilai, skala penerapan PSBB kali ini lebih menurun dibandingkan kebijakan terdahulu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cenderung fokus pada pembatasan aktivitas di perkantoran. Sedangkan, pada Maret dan April, hampir seluruh kegiatan masyarakat terhenti.
Meski demikian, Sri tetap berharap, kebijakan PSBB kali ini tidak berdampak terlalu signifikan terhadap perekonomian. Pasalnya, DKI Jakarta berkontribusi hingga 17 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Besarnya peranan ibu kota terlihat pada kuartal kedua. Ketika PDB Jakarta turun 8,2 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia turut mengalami kontraksi, yaitu sampai 5,32 persen.
"Kontraksi DKI pada kuartal ketiga diharapkan akan lebih rendah atau jauh lebih kecil dibandingkan kontraksi pada kuartal kedua," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.
Untuk kuartal keempat, Sri menambahkan, pemerintah masih memperkirakan ekonomi bisa tumbuh di kisaran 0,4 sampai 3,1 persen. Realisasinya bergantung pada kemampuan pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan dalam mengelola penyebaran virus corona dan mencegah terjadinya tren kenaikan.
Sementara itu, untuk proyeksi sepanjang 2020, Sri juga masih dalam pendirian awal, yakni dalam rentang minus 1,1 persen sampai 0,2 persen. Tapi, kemungkinan besar, realisasinya akan mengarah pada batas terbawah. "Karena adanya kejadian seperti di DKI (Jakarta), kita siapkan kemungkinan berada di lower end," ucapnya.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, PSBB bukanlah kondisi ideal bagi pelaku usaha. Sebab, kebijakan ini merupakan langkah yang sangat mematikan kegiatan usaha, sekaligus menekan permintaan masyarakat.
"Sehingga hampir tidak ada driver untuk pelaku usaha menciptakan peningkatan kinerja ekonomi. Padahal saat ini pun pelaku usaha sudah mati-matian mempertahankan eksistensi dan kinerja dengan modal semakin menipis dan stimulus yang efeknya masih terlalu minim," ujar Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani kepada Republika, Selasa (15/9).
Ia khawatir bila kebijakan PSBB diberlakukan dalam waktu lama tanpa output pengendalian Covid-19 yang memuaskan, akan semakin banyak pelaku usaha sektor riil nasional, khususnya Usaha Mikro Kecil Menebangah (UMKM) dan pengusaha skala menengah mati, karena tidak sanggup bertahan. Jumlah pengangguran juga dikhawatirkan bertambah, khususnya di sektor informal yang menyerap lebih dari separuh tenaga kerja nasional.
"Namun pada saat sama, kami juga memahami urgensi kebijakan ini terhadap pengendalian Covid-19. Maka, kami harap kebijakan ini bisa menghasilkan output pengendalian Covid yang efektif dalam waktu sesingkat-singkatnya, sehingga tidak berlama-lama PSBB," tutur Shinta.