REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan ambang batas pencalonan presiden dan wapres atau presidential treshold (PT), kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Rizal Ramli dan Refly Harun sebagai pemohon meminta agar PT 20 persen dihapus.
"Permohonan ini bukan menurunkan PT, tapi menghilangkan PT sama sekali. Karena kami berdalil bahwa PT bertentangan dengan sejumlah pasal dalam konstitusi," ujar Refly dalam sidang pendahuluan di hadapan hakim MK secara virtual, Senin (21/9).
Refly menjelaskan, argumentasi yang ia berikan terkait fakta yang terjadi pascaPemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu. Dia melihat, hak konstitusional setidaknya empat partai politik (Parpol) hilang untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Partai-partai itu, yakni Partai Berkarya, Partai Garuda, Partai Solidaritas Indonesia, dan Perindo.
"Padahal seperti kita tahu menurut UUD 1945 Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa paslon diusulkan oleh Parpol atau gabungan Parpol peserta pemilu sebelum pemilu. Jadi kami anggap, mengajukan paslon capres dan cawapres itu adalah hak konstitusional yang seharusnya tidak boleh dihilangkan dalam peraturan di bawahnya," kata Refly.
Pada Pilpres 2019, keempat partai itu tidak bisa mengajukan calon karena tidak memiliki sama sekali kursi di parlemen dan satu suara pun. Dengan begitu, mereka kehilangan hak untuk mengajukan pasangan calon. Itu disebut tidak sejalan dengan anggapan mereka bisa bergabung dengan Parpol lain untuk mencapai 20 persen suara.
"Lalu kami juga anggap PT bertentangan dengan pasal mengenai jurdil dalam pelaksanaan pemilu karena kami melihat bahwa pemilu itu sudah tidak jurdil. Terutama tidak jurdilnya ketika kemudian ada pembedaan perlakukan antara peserta pemilu," katanya.
Dia menilai ada banyak hal yang bersifat nonkonstitusional dalam aturan itu. Selain dapat membuat demokrasi kriminal atau demokrasi para cukong, pihaknya mengengarai peraturan itu digunakan sebagai cara untuk menghilangkan persaingan di dalam kontes demokrasi. Dia juga merasakan terjadinya pembelahan masyarakat akibat peraturan itu.
"Ini terjadi pascaPilpres 2014 dan 2019 dengan dua paslon yang justru menurut kami akan makin bahayakan eksistensi negara dan demokratisasi di Indonesia," jelasnya