REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa kasus dugaan suap dan gratifikasi jaksa Pinangki Sirna Malasari didakwa dengan tiga dakwaan berlapis. Dakwaan pertama, Pinangki didakwa telah menerima suap 500 ribu dollar AS dari 1 juta dollar AS yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra selaku terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Suap diterima Pinangki saat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Pembinaan. Dalam persidangan, Pinangki Sirna Malasari merasa keberatan atas dakwaan tersebut.
Melalui tim kuasa hukumnya, Aldres Napitupulu menyatakan, kliennya akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan JPU. Tim kuasa hukum meminta diberikan waktu satu minggu untuk menyusun nota eksepsi.
"Mohon waktu satu minggu untuk mengajukan keberatan terdakwa," kata Aldres usai mendengarkan dakwaan JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (23/9).
Aldres menyebut, dalam dakwaan kesatu kliennya dituduh menerima janji sejumlah uang dari Djoko Tjandra. Namun, pada dakwaan ketiga disebut bermufakat jahat untuk memberikan uang kepada pihak lain dengan jumlah yang sama.
"Ini menurut kami cukup aneh, ketika terdakwa dituduh sebagai penerima, tapi dituduh juga sebagai pemberi. Itu yang akan menjadi salah satu point keberatan kami," ujar Aldres.
Dalam dakwaan, uang suap diterima Pinangki untuk mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK (Peninjauan Kembali) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana.
"Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar USD 500 ribu dari sebesar 1 juta dollar AS yang dijanjikan oleh Joko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya," ujar jaksa membacakan surat dakwaannya dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (23/9).
Untuk mengurus hal itu semua, awalnya Pinangki diceritakan bertemu dengan seorang bernama Anita Kolopaking yang disebut dengan jelas sebagai advokat. Saat itu pun Pinangki ingin diperkenalkan dengan Djoko Tjandra.
Di sisi lain jaksa mengatakan, bila Anita akan menanyakan ke temannya yang seorang hakim di MA mengenai kemungkinan terbitnya fatwa untuk Djoko Tjandra yang direncanakan Pinangki itu. Seluruh rencana Pinangki itu disebut jaksa tertuang dalam 'proposal' dengan nama 'action plan'.
"Untuk melancarkan rencana tersebut, Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Joko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut," kata jaksa.
Pembahasan itu disebut terjadi di Kuala Lumpur, Malaysia, tepatnya di gedung The Exchange 106. Jaksa mengatakan Pinangki awalnya menawarkan action plan 'senilai' 100 juta dollar AS, tetapi Djoko Tjandra hanya menjanjikan 10 juta dollar AS.
Sebagai tanda jadi pun akhirnya Djoko Tjandra memberikan 500 ribu dollar AS ke Pinangki melalui Herriyadi Angga Kusuma yang merupakan adik iparnya. Uang lantas diteruskan ke Andi Irfan Jaya yang disebut sebagai seorang swasta dari pihak Pinangki. Setelahnya Pinangki memberikan 50 ribu dollar AS dari 500 ribu dollar AS yang diterimanya ke Anita.
"Atas kesepakatan sebagaimana dalam action plan tersebut, tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Joko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar 500 ribu dollar AS sehingga Joko Soegiarto Tjandra pada Desember 2019 membatalkan action plan," kata jaksa.
Atas perbuatannya tersebut, Pinangki melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) subsider Pasal 11 UU Tipikor.
Dalam dakwaan kedua, Pinangki didakwa Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam dakwaan disebutkan uang suap yang masih dipegang Jaksa Pinangki sebesar 450 ribu dollar AS juga dibelanjakan barang-barang mewah.
Jaksa Pinangki melakukan pembelian mobil BMW X-5, pembayaran dokter kecantikan di Amerika, pembayaran sewa apartemen maupun hotel di New York, Amerika, pembayaran dokter home care, pembayaran kartu kredit, dan transaksi lain untuk kepentingan pribadi. Tak hanya itu, uang tersebut juga digunakan untuk pembayaran sewa apartemen Essence Darmawangsa dan apartemen Pakubowono Signature yang menggunakan cash atau tunai dollar AS.
Sementara dakwaan ketiga yakni tentang untuk pemufakatan jahat, Pinangki didakwa melanggar Pasal 15 Jo Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jo. Pasal 88 KUHP.
Dalam dakwaan dijelaskan rangkaian perbuatan Pinangki yang bermufakat jahat dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk memberi hadiah atau janji berupa uang sebesar 10 juta dollar AS kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Hadiah atau janji itu untuk kekuasaan dan wewenang pejabat di MA dalam memberikan fatwa MA melalui permohonan fatwa dari pejabat di Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK NOmor 12 tanggal 11 Juni 2019 tidak dapat dieksekusi. Sehingga Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana.