REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Pemerintah Armenia, Jumat (2/10), mengatakan akan bekerja sama dengan Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis untuk memperbarui gencatan senjata di Nagorno-Karabakh. Sementara itu, jumlah korban tewas terus meningkat pada hari keenam pertempuran Azerbaijan-Armenia.
Azerbaijan, yang memerangi pasukan etnis Armenia di Nagorno-Karabakh, belum menanggapi seruan untuk gencatan senjata yang dikeluarkan pada Kamis (1/10) oleh Kelompok Minsk Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE) yang menengahi dalam krisis.
Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengesampingkan pembicaraan dengan Armenia mengenai Nagorno-Karabakh pada Selasa. Sekutu Azerbaijan, Turki, mengatakan pada Kamis bahwa tiga kekuatan besar itu seharusnya tidak memiliki peran dalam menciptakan perdamaian.
"Jelas bahwa Armenia tidak tertarik untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan berusaha untuk mencaplok wilayah pendudukan," kata Kementerian Luar Negeri Azerbaijan.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan berbicara pada Jumat melalui telepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang situasi di Nagorno-Karabakh.
Kedua pemimpin itu sepakat bahwa setiap penggunaan pejuang asing dan teroris dalam konflik tidak dapat diterima, dan Macron menyerukan gencatan senjata segera.
Armenia dan Azerbaijan saling menuduh menggunakan tentara bayaran asing dalam operasi militer. Pashinyan juga berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Dalam pembicaraan ketiga kalinya melalui telepon dalam enam hari sejak pertempuran pecah, Putin dan Pashinyan menyatakan keprihatinan serius tentang keterlibatan kelompok bersenjata ilegal dari Timur Tengah dalam pertempuran itu.
Putin menegaskan kembali perlunya gencatan senjata.