Selasa 06 Oct 2020 10:51 WIB

Syarief: Demokrat Tolak Langkah Percepat Rapat Paripurna DPR

UU Cipta Kerja hilangkan sanksi pidana bagi perusahaan nakal dan UMR semakin kecil.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Demokrat, Syarief Hasan.
Foto: MPR
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Demokrat, Syarief Hasan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Syarief Hasan mempertanyakan langkah pimpinan DPR RI mempercepat rapat paripurna yang mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang (UU). Syarief mempertanyakan, langkah pimpinan RI itu karena masih banyak RUU yang masih menuai pro kontra dan perlu mendengarkan aspirasi rakyat kecil.

Sedianya, Rapat Paripurna DPR RI akan dilangsungkan pada Kamis (8/10). Namun secara tiba-tiba sidang paripurna dipercepat menjadi paa Senin (5/10), sehingga menuai banyak pertanyaan dari masyarakat terkait alasan mempercepat pelaksanaan rapat paripurna.

Menurut Syarief, langkah mempercepat rapat paripurna tersebut dapat menjadi preseden buruk bagi lembaga legislatif yang berkantor di Senayan tersebut. Apalagi, kata dia, langkah itu muncul setelah marak pemberitaan akan dilakukannya demonstrasi penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja oleh kalangan mahasiswa, buruh, dan elemen masyarakat lainnya.

"Langkah mempercepat rapat paripurna mengindikasikan tidak didengarnya aspirasi rakyat kecil terkait RUU Cipta Kerja. Langkah ini akan semakin menurunkan, bahkan mematikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR RI," kata Syarief.

Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat tersebut menyatakan bahwa pelaksanaan rapat paripurna tidak seharusnya dipercepat. "Kami dari Fraksi Partai Demokrat menyatakan menolak langkah mempercepat Rapat Paripurna DPR RI dengan alasan yang tidak dapat diterima dan terkesan mengada-ada," tegas pemilik nama lengkap Syariefuddin Hasan itu.

Syarief juga menyatakan, dengan tegas penolakannya terhadap RUU Cipta Kerja karena sangat merugikan masyarakat dan tidak berpihak kepada kaum buruh dan masyarakat kecil. "Hilangnya sanksi pidana bagi perusahaan nakal, semakin kecilnya UMR, dan tidak adanya jaminan uang pesangon menjadi alasan kami menolak dengan tegas RUU ini," ungkapnya.

Selain itu, kata dia, RUU Cipta Kerja hanya akan menimbulkan masalah baru di tengah pandemi Covid-19. "RUU ini hanya akan menyebabkan karyawan kontrak susah diangkat menjadi karyawan tetap, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) akan semakin besar, PHK akan semakin dipermudah, serta hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun," tegas Syarief.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement