Sabtu 10 Oct 2020 06:45 WIB

Kekerasan Aparat, Polri Klaim Pertahankan Diri

Polri melakukan langkah pengamanan sesuai prosedur operasional standar.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Friska Yolandha
Polisi mengamankan seorang pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah Jumat (9/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.
Foto: Antara/Anis Efizudin
Polisi mengamankan seorang pengunjuk rasa saat demonstrasi menentang Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kota Magelang, Jawa Tengah Jumat (9/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aksi kebrutalan aparat dalam aksi tolak RUU Cipta Kerja (Ciptaker) terekam dan terunggah di berbagai media sosial oleh masyarakat. Bukan hanya pendemo, jurnalis juga menjadi korban. Namun, Polri berdalih, apa yang dilakukan polisi adalah upaya bertahan. 

Meski dalam berbagai video polisi tampak mengejar dan mengeroyok demonstran, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono mengklaim, Polri melakukan langkah pengamanan sesuai prosedur operasional standar, misalnya tanpa bekal senjata api dan dengan proses negosiasi. 

"Tentunya dari dinamika unjuk rasa kemarin, polisi SOP-nya tetap mengamankan area tertentu yang tidak boleh dimasuki, dengan posisi defend (bertahan), dengan berbagai metode yang dilakukan Dalmas, Sabhara, Brimob. Tentunya semuanya bisa terkendali," kata Argo, Jumat (9/10).

Argo kembali mengklaim, imbauan-imbauan pun telah diberikan ke pengunjuk rasa dengan persuasif dan jangan sampai terpancing. Ia menyebut, anggota Polri yang bertugas juga sudah diberi edukasi untuk tidak terpancing. 

"Tetap kita berikan himbauan, ternyata semakin anarkis. Tentunya kalau massa sudah anarkis, tentunya tetap ada aturan yang dilakukan oleh pihak kepolisian baik itu himbauan, menggunakan toa himbauan-himbauan, terakhir melemparkan gas air mata," ujar Argo. 

Menurut catatan Mabes Polri pada Jumat (9/10), pendemo atau orang sipil yang menjadi korban luka ada 129 orang dan dirawat di seluruh RS Jakarta. Tanpa menjelaskan lebih lanjut soal kekerasan yang dilakukan aparat, Argo justru menjelaskan bahwa adanya anggota yang mengalami luka luka. 

"Contohnya Kapolres ini dilempari. Tetap bertahan kita, defend," ujarnya. 

Selain bicara soal anggota yang terluka, ia juga bicara soal fasilitas kepolisian yang rusak, misalnya ambulans, pos polisi dan mobil dinas di berbagai titik. 

Apa yang disampaikan Argo berbeda dengan penuturan Alviani Sabillah. Ia merupakan seorang tim medis yang berupaya menolong para demonstran yang mengalami luka-luka. Alviani mengatakan, sejak berangkat aksi, pergerakan tim medisnya sudah mulai dihambat.

"Aparat juga menghalangi aksi kami," kata Alviani dalam konferensi pers yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil, pada Kamis malam. 

Saat Kamis sore, kata Alviani, gas-gas air mata mulai ditembakkan. Bahkan, ada gas air mata yang sengaja ditembakkan ke arah tim medis. 

"Dapat dari Surabaya, para medis di Surabaya mendapat tembakan gas air mata, didobrak dan menyeret teman teman paramedis. Tentu itu menyulitkan tindakan kami dalam melakukan aksi penyelamatan," ujarnya menambahkan. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement