Senin 12 Oct 2020 17:39 WIB

UU Ciptaker Membengkak, Naskah Diganti?

Bukan hanya typo dan tanda baca yang berubah dalam naskah terbaru yang beredar.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) menyerahkan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kiri) saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang.
Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kedua kanan) menyerahkan berkas pendapat akhir pemerintah kepada Ketua DPR Puan Maharani (kedua kiri) saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). Dalam rapat paripurna tersebut Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang.

Oleh Arif Satrio Nugroho, Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Versi baru naskah Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang disahkan DPR pada Senin (5/10) lalu kembali beredar. Jumlah halaman naskah terbaru yang beredar tersebut melebihi naskah-naskah sebelunya baik yang beredar secara resmi maupun tak resmi.

Sekretaris Jenderal DPR RI Indra Iskandar mengiyakan keberadaan draf RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 1.035 halaman. Draf tersebut, kata dia, merupakan draf terkini setelah dirapikan usai disahkan pekan lalu.  "Iya, itu yang dibahas terakhir yang 1.035 (halaman)," ujar Indra Iskandar kepada Republika, Senin (12/10).

Naskah terkini yang beredar itu lebih tebal sekitar 130 halaman dibandingkan draf UU Ciptaker yang sempat berbedar setelah sidang paripurna sebanyak 905 halaman. Jumlah halaman dalam naskah terbaru juga lebih tebal dari naskah resmi yang diusulkan pemerintah pada Februari lalu setebal 1.028 halaman.

Indra Iskandar tak membantah kebenaran substansi dari draf 905 halaman yang sebelumnya beredar. Draf tersebut, kata Indra merupakan draf yang disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 lalu. 

Draf terbaru telah menyertakan nama Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin sebagai penandatangan. Artinya, ia telah siap dikirimkan ke Presiden Joko Widodo untuk diteken. "Kemarin kan spasinya kan belum rata semua, hurufnya segala macam, nah sekarang sudah dirapikan," ujarnya menjelaskan.

Perubahan halaman lintasdraf itu bisa dilacak dari sejumlah keterangan yang diberikan pihak DPR dan pemerintah. Draf yang disahkan paripurna misalnya, lebih tipis karena ada empat UU dikeluarkan dari draf selama di bahas DPR. Selain itu, substansinya juga berubah. 

Di antaranya ada kewenangan daerah yang dikembalikan, regulasi ketenagakerjaan yang direvisi untuk mengakomodasi tuntutan buruh, klaster pendidikan yang sebagian besar dihapuskan, dan sebagainya.

Dalam draf terbaru, tak seperti yang disampaikan Indra Iskandar, bukan tanda baca dan typonya saja yang berubah. Dari perbandingan dengan draf selepas sidang paripurna, redaksional naskah juga berubah.

Di klaster Ketenagakerjaan, perubahan yang dilakukan tergolong signifikan. Di antaranya, perubahan soal waktu cuti pada Pasal 79 UU Ketenagakerjaan ditambahi satu poin huruf, yakni "Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain itu, upah satuan waktu yang sempat jadi keberatan serikat buruh juga masih ada dalam draf terbaru. Perubahan naskah juga cukup banyak dalam pasal-pasal mengenai PHK. Dalam perubahan Pasal 154A, ada tambahan "dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh".

Selain itu, efisiensi sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat "diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian". 

Alasan penutupan perusahaan sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat "yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun".

Kemudian dalam tambahan aturan Pasal 154A, poin bahwa  "perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh" sebagai alasan PHK dihapuskan. Dalam draf terbaru, pasal tersebut kemudian dielaborasi lebih terperinci.

Di antaranya, pemutusan hubungan kerja dengan alasan perbuatan merugikan oleh perusahaan harus diajukan oleh pekerja. Jenis tindakan yang merugikan juga dirinci seperti penganiayaan, penghinaan, ajakan melawan hukum, tak membayar upah lebih dari tiga bulan, melanggar perjanjian pada para pekerja, serta memberikan pekerjaan membahayakan jiwa dan kesehatan serta kesusilaan yang tak tercantum dalam perjanjian kerja.

Masih dalam pasal soal PHK, ada tambahan "adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja".

Selanjutnya dalam draf terbaru juga dirinci syarat pekerja mengundurkan diri. Di antaranya permohonan selambatnya sebulan sebelum tanggal dimulai pengunduran diri, tak terikat dinas, dan menunaikan tugas sampai tanggal mulai pengunduran diri.

Poin "buruh mangkir" sebagai alasan PHK juga ditambahi kalimat  "pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis". Selain itu, ada aturan baru dimasukkan bahwa PHK harus didahului surat peringatan (SP) sampai tiga kali berturut-turut. Sementara pada bab jaminan sosial, ditambahi klausul bahwa iuran jaminan kehilangan pekerjaan akan diatur lebih lanjut dan ditanggung pemerintah. 

Sementara Pasal 65 dalam klaster Pendidikan dan Kebudayaan masih ada dalam draf yang baru. "Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini," begitu bunyi ayat 1 pasal tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement