Rabu 14 Oct 2020 04:45 WIB

Dicekal karena Tolak Jadi Informan, 3 Muslim Gugat FBI

Ketiga Muslim menilai FBI menargetkan mereka atas dasar agama.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Dicekal karena Tolak Jadi Informan, 3 Muslim Gugat FBI. Ilustrasi
Dicekal karena Tolak Jadi Informan, 3 Muslim Gugat FBI. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) menyidangkan kasus Muslim yang mengatakan mereka ditargetkan lantaran menolak menjadi informan Biro Investigasi Federal (FBI). Tiga pria Muslim AS itu menyatakan kepada MA pada Selasa (6/10), bahwa mereka seharusnya dapat menuntut FBI karena menargetkan mereka atas dasar agama.

Mereka mengatakan, selama bertahun-tahun mereka dimasukkan dalam daftar cegah tangkal atau tidak bisa bepergian dengan pesawat lantaran mereka menolak menjadi informan FBI. Pengacara New York, Ramzi Kassem, berkata di pengadilan agen federal memasukkan kliennya ke dalam daftar 'Dilarang Terbang' karena mereka menolak memata-matai komunitas Muslim yang tidak bersalah. 

Baca Juga

"Klien saya kehilangan tahun-tahun berharga dengan orang-orang yang dicintai, ditambah pekerjaan dan kesempatan pendidikan," kata Kassem di pengadilan, dilansir di Washington Post, Rabu (7/10).

Ketiga pria Muslim itu ialah Muhammad Tanvir, Jameel Algibhah, dan Naveed Shinwari, Mereka menggugat di bawah Undang-Undang Pemulihan Kebebasan Beragama (RFRA). UU ini melarang pemerintah federal menempatkan beban substansial pada praktik keagamaan, kecuali jika dapat menunjukkan hal itu mempromosikan kepentingan yang memaksakan, setidaknya dengan cara yang sifatnya membatasi.

Dalam hal ini, FBI dituduh melanggar hak tiga Muslim itu karena memasukkan mereka dalam daftar cekal setelah mereka menolak memata-matai komunitas Muslim setempat. Mereka mengatakan, pemerintah melanggar hak mereka bepergian secara bebas, dan secara keliru memberikan stigma tanpa justifikasi dan proses hukum, dengan memasukkan mereka dalam daftar cekal.

Pertanyaan di depan pengadilan adalah apakah RFRA memberi otorisasi ganti rugi keuangan terhadap agen FBI individu tersebut. Hukum tersebut tidak secara tegas mengatakan ya atau tidak.

Undang-undang itu hanya mengizinkan 'bantuan yang sesuai' dari pemerintah, dan mendefinisikan pemerintah sebagai 'cabang, departemen, agensi, perantaraan, dan pejabat (atau orang lain yang bertindak berdasarkan warna hukum) di Amerika Serikat.

Kassem mengatakan dalam banyak situasi, termasuk yang melibatkan kliennya, menghentikan pemerintah dari dugaan kegiatan ilegal tidaklah cukup. Dia mengutip sebagai contoh, seorang siswa Yahudi di sekolah D.C. yang dipaksa seorang guru olahraga untuk mengenakan pakaian yang tidak sopan atau seorang narapidana federal yang memiliki Alkitab dengan catatan tangannya dihancurkan oleh seorang penjaga.

"Keputusan akan percuma terhadap kerugian yang hanya terjadi satu kali ini, yang meninggalkan ganti rugi sebagai satu-satunya solusi," kata Kassem.

Namun demikian, Wakil Jaksa Agung Edwin S. Kneedler mengatakan di pengadilan Kongres telah berhati-hati untuk melindungi karyawan federal guna mencegah efek mengerikan bagi cabang eksekutif dari prospek tanggung jawab pribadi dan proses pengadilan yang berlarut-larut bagi karyawannya. Dalam beberapa kasus di mana Kongres mengatakan ganti rugi keuangan sesuai, kata Kneedler, itu telah dilakukan secara eksplisit.

"Pengadilan ini seharusnya tidak membacakan teks RFRA, yang menyediakan hanya untuk bantuan terhadap pemerintah, sebuah perubahan baru, penyebab tindakan terhadap karyawan federal dalam kapasitas pribadi mereka untuk ganti rugi," kata Kneedler.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement