REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (AS) atau FBI mengatakan hingga saat ini belum mencapai kesimpulan pasti mengenai apa yang menyebabkan ledakan pada 4 Agustus lalu di area pelabuhan Ibu kota Beirut, Lebanon. Hal ini diumumkan pada Selasa (13/10).
Dalam insiden ledakan dahsyat yang terjadi di Beirut, setidaknya 200 orang meninggal serta banyak bangunan hancur. Saat itu, diyakini penyebab ledakan akibat lebih dari 2.700 ton amonium nitrat yang disimpan di sebuah gudang di dermaga.
Laporan dari media lokal menyebut ada gudang kembang api di pelabuhan yang memicu ledakan dan mengirimkan asap berbentuk seperti awan jamur. Badan Pemerintah AS dan negara-negara Eropa yang juga melakukan penyelidikan atas insiden meyakini ledakan itu memang tidak disengaja. Kejadian diyakini bukanlah sebuah serangan yang disengaja.
“Tidak ada kesimpulan seperti itu dicapai. Pertanyaan lebih lanjut harus ditujukan kepada pihak berwenang Lebanon mengenai penyelidik utama,” ujar juru bicara FBI dalam sebuah pernyataan, dilansir Middle East Monitor, Rabu (14/10).
Media Lebanon menyampaikan laporan dari FBI tentang inisden ledakan pelabuhan Beirut telah diserahkan pada hakim di pengadilan pada Senin (12/10). Meski demikian, FBI menolak mengomentari secara rinci laporan.
Dua sumber pemerintah AS yang mengetahui pelaporan dan analisis resmi tentang insiden itu mengatakan bahwa badan-badan di negara itu juga sangat yakin ledakan, yang melibatkan amonium nitrat dalam jumlah besar yang telah disimpan di sebuah gedung pelabuhan adalah sebuah kecelakaan. Sementara, sumber pemerintah Eropa yang mengetahui pelaporan dan analisis intelijen mengatakan para ahli resmi Eropa juga menilai ledakan itu tidak disengaja.
Insiden ledakan di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus lalu menjadi yang paling besar dalam sejarah Lebanon. Sebelumnya, negara Timur Tengah ini pernah mengalami perang saudara pada 1975 hingga 1990.
Tak hanya itu, Lebanon memiliki konflik dengan Israel dan negara ini telah menghadapi pemboman berkala dan serangan teror. Sebelum ledakan terjadi, Lebanon sudah berada di ambang kehancuran di tengah krisis ekonomi yang parah yang telah memicu protes massa dalam beberapa bulan terakhir, di mana kondisi semakin buruk akibat pandemi virus corona jenis baru (Covid-19).