REPUBLIKA.CO.ID, MYANMAR -- Lebih dari setengah tempat pemungutan suara (TPS) di wilayah Rakhine yang semula direncanakan untuk pemilu Myanmar 8 November mendatang tidak akan digunakan. Pasalnya, negara bagian itu dianggap tidak stabil.
"Beberapa daerah tidak dalam posisi untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil," kata komite pemilu Myanmar dalam sebuah pernyataan pada Jumat malam (16/10).
Tidak akan ada pemungutan suara di sembilan dari 17 kota di Rakhine. Sementara empat lainnya akan menjalankan pemungutan suara minimal.
Negara bagian yang sebagian besar kursi parlemen dipegang oleh lawan nasionalis Rakhine dari pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, telah dilanda pemberontakan etnis yang meningkat tahun ini.
Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa mengatakan tiga kandidatnya diculik di Rakhine saat berkampanye pada Rabu (14/10). Polisi tidak menanggapi permintaan komentar, dan pemberontak Tentara Arakan tidak membuat pernyataan.
"Ini berdampak besar pada kami. Kami hanya memiliki beberapa tempat untuk pemilihan yang tersisa," kata Myo Kyaw, juru bicara Liga Arakan untuk Demokrasi, salah satu partai besar di Rakhine.
"Tidak ada yang namanya pemilu yang 100 persen bebas dan adil. Pemilu tahun ini lebih buruk dari pemilu sebelumnya," Kyaw menambahkan.
Pemerintah tidak menanggapi permintaan dari Reuters untuk memberikan komentar tentang apa arti pembatalan TPS bagi keadilan pemilihan.
Dalam pemilu terakhir tahun 2015, Partai Nasional Arakan memenangkan sebagian besar kursi untuk negara bagian Rakhine dan jumlah suara tertinggi ketiga secara nasional. Partai tersebut memperjuangkan sistem federal di Myanmar, dengan lebih banyak kekuasaan untuk negara bagiannya.
Rakhine menarik perhatian dunia pada 2017 ketika lebih dari 730 ribu warga etnis Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh selama tindakan keras militer---sebuah kampanye yang menurut penyelidik PBB dilakukan dengan "niat genosida".
Dari sisi militer, tentara Myanmar mengatakan tindakan tersebut dilakukan untuk menanggapi serangan pemberontak Rohingya.
Partai-partai oposisi mendesak pemerintah Myanmar untuk menunda pemilu karena meningkatnya infeksi virus corona dan meningkatnya jumlah kematian. Namun Suu Kyi mengatakan pemungutan suara harus dilanjutkan.