REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Febrianto Adi Saputro, Arif Satrio Nugroho
Hari ini (20/10), pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin genap berusia satu tahun. Ada banyak catatan penting selama menjalankan satu tahun pemerintahan.
Salah satunya adalah terjadinya kontraksi ekonomi. Pertumbuhan ekonomi nasional sempat terpukul hingga minus 5,32 persen pada kuartal II 2020 lalu akibat pandemi Covid-19. Kontraksi ini pun berpotensi berlanjut hingga kuartal III dan menjadikan Indonesia mengalami resesi ekonomi.
Kepala Staf Presiden Moeldoko menyampaikan, tak hanya Indonesia saja yang ekonominya terhantam pandemi. Indonesia, menurutnya, memang ikut terdampak namun dengan kedalaman kontraksi yang dangkal. Mengacu pada angka pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020, Moeldoko menyebutkan bahwa Indonesia masih jauh lebih baik ketimbang negara-negara lain di Asia Tenggara atau dunia.
"Bahkan di antara negara G20, Indonesia berada di peringkat ketiga di bawah Tiongkok dan Korea Selatan," kata Moeldoko dalam laporan tahunan 2020 yang dirilis hari ini, Selasa (20/10).
Namun hal ini tak lantas membuat pemerintah diam saja melihat efek ekonomi yang dirasakan masyarakat. Covid-19 sendiri berdampak pada 3,5 juta pekerja yang terkena pemutusah hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan. Hal ini membuat pengangguran naik menjadi 10,4 juta orang dan angka kemiskinan meningkat jadi 26,42 juta orang. Kebanyakan di perkotaan.
Tantangan tersebut diatasi dengan menggencarkan program perlindungan sosial. Sejumlah program yang sudah berjalan, antara lain bantuan sosial tunai bagi masyarakat yang ekonominya terdampak Covid-19, bantuan langsung tunai desa, bantuan subsidi gaji, hingga bantuan produktif untuk UMKM.
Realisasi serapan anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) sendiri meningkat cukup signifikan pada pekan pertama kuartal IV 2020 ini. Per 7 Oktober, dari total anggaran PEN sebesar Rp 695,2 triliun, sudah Rp 331,94 triliun atau 47,7 persen yang disalurkan. Angka ini naik Rp 13,47 triliun dari realisasi per 30 September atau akhir kuartal III 2020.
Secara kumulatif, empat klaster program yang menjadi fokus Satgas PEN, yakni perlindungan sosial, UMKM, Kementerian-Lembaga-Pemda, dan pembiayaan korporasi, telah membukukan realisasi serapan anggaran hingga Rp 277,68 triliun. Penyerapan tertinggi melalui sektor UMKM, yakni program bantuan presiden (banpres) produktif.
Banpres produktif sendiri telah terserap 100 persen untuk 9,1 juta pelaku UMKM. Program ini memberi hibah Rp 2,4 juta untuk setiap pelaku UMKM.
Sementara untuk sektor kesehatan, realiasi serapan anggarannya mencapat Rp 25,94 triliun. Kemudian untuk sektor perlindungan sosial mencapai Rp 159,69 triliun, sektoral kementerian-lembaga-pemda mencapai Rp 27,57 triliun, dan sektor UMKM Rp 90,42 triliun. Sementara untuk insentif usaha dan pajak, serapannya menyentuh Rp 28,32 triliun. N Sapto Andika Candra
Moeldoko menilai adanya pandemi ikut mempengaruhi berbagai rencana dan program. Menurutnya, berbagai perubahan ini penting untuk disampaikan agar masyarakat mendapat informasi yang utuh, termasuk tantangan dan pencapaian pemerintah.
"Presiden tidak pernah mengabaikan janjinya. Meski laju pertumbuhan ekonomi sempat tersendat, tapi Presiden tetap memegang visi mewujudkan lima arahan strategis menuju masyarakat Indonesia mandiri, maju, adil, makmur," ujar Moeldoko.
Lima arahan strategis yang dimaksud Moeldoko, adalah pembangunan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi. Menyiasati pandemi Covid-19, pemerintah melakukan realokasi anggaran dengan memprioritaskan penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi, terutama untuk pelaku UMKM.
Dalam laporan yang terdiri dari 71 halaman ini, Moeldoko merinci satu persatu perjalanan kebijakan pemerintahan Jokowi-Maruf, sesuai dengan lini waktu dan isu yang paling banyak dibicarakan. Selain menjelaskan panjang lebar mengenai penanganan Covid-19, KSP juga memaparkan kebijakan pemerintah untuk menyiapkan SDM Indonesia dan terus melanjutkan pembangunan infrastruktur.
Moeldoko, melalui laporan ini, juga menjelaskan apa yang terjadi di balik kontraksi ekonomi yang sempat dialami Indonesia sejak kuartal II 2020 dengan angka minus 5,32 persen.
Anggota Komisi XI DPR Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Byarwati menilai kinerja pemerintah dalam bidang ekonomi masih jauh dari kata memuaskan. Menurutnya ketidakberhasilan pemerintah dalam mencapai target-target ekonominya menjadi catatan tidak baik terhadap kinerja pemerintah selama ini.
"Ketidakberhasilan yang demikian menjadi indikator tidak tercapainya janji-janji politik pemerintah selama masa kampanye," kata Anis kepada Republika, Senin (19/10).
Selain itu, Anis memandang ketidakberhasilan pemerintah dalam mencapai target ekonomi tersebut menunjukkan pemerintah tidak mampu memenuhi ekspektasi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraan. Bahkan, Indonesia semakin dekat dengan jebakan negara berpendapatan menengah.
Anis mengungkapkan, Fraksi PKS mencatat ketidakberhasilan mencapai target pertumbuhan ekonomi diantaranya karena struktur ekonomi nasional terus bergantung pada sektor konsumsi. Porsi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2019 mencapai 56,62 persen, meningkat dari 55,76 persen pada 2018.
"Hal ini menunjukkan ekonomi nasional semakin rapuh karena bergantung pada daya beli. Peranan belanja pemerintah hanya 8,75 persen," ucapnya.
Selain itu, PKS menganggap angka kualitas belanja pemerintah dinilai cukup buruk. Anis menuturkan, menurut angka realisasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tahun 2019, realisasi belanja negara mencapai Rp 2.309 triliun. Angka tersebut mencapai 14,58 persen dari PDB tahun 2019 sebesar Rp15.833 triliun.
"Dengan memperhatikan angka tersebut, terlihat bahwa kualitas belanja pemerintah cukup buruk. Jurang antara potensi ideal dengan realisasi sekitar 6 persen," ujarnya.
Selain itu, Anis juga menyoroti penanganan ekonomi saat pandemi Covid-19. Program-program stimulus penanganan ekonomi saat pandemi Covid-19 yang terangkum dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tidak terealisasi maksimal.
"Sejak digulirkan, sampai dengan 30 September 2020, realisasi anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) realisasinya hanya 38,6 persen, atau setara dengan Rp 268,3 T dari pagu Rp 695,2 T," ujarnya.
Ia menjabarkan, realisasi di bidang kesehatan sebesar Rp 21,92 triliun atau 25,04 persen dari total pagu Rp 87,55 triliun. Di bidang perlindungan sosial realisasinya sebesar Rp 157,03 triliun atau 77,01 persen dari total pagu Rp 203,91 triliun.
Kemudian, realisasi Bidang sektoral K/L dan Pemda sebesar Rp 26,61 triliun atau 25,09 persen dari total pagu Rp 106,05 triliun. Bidang UMKM realisasinya Rp 84,85 triliun atau 68,7 persen dari pagu Rp 123,47 triliun.
Bidang insentif usaha realisasinya sebesar Rp 28,07 triliun atau 23,27 persen dari pagu Rp 120,61 triliun. Sedangkan untuk realisasi pembiayaan korporasi belum teralisasi dari anggaran Rp 53,57 triliun.
"Dengan pertumbuhan realisasi mencapai 20 persen per bulan hingga akhir tahun, maka realisasi hanya mencapai 55-60 persen, atau artinya akan ada dana lebih dari Rp 300 Triliun yang tidak terserap," ungkapnya.
"Realisasi yang rendah ini menyebabkan tujuan utama adanya program PEN belum dapat dinikmati, hal ini tercermin dengan adanya pertumbuhan negatif pada kuartal kedua 2020," imbuhnya.
Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca IP Pandjaitan mengatakan, semua pihak harus mengakui bahwa ahun 2020 bukanlah tahun yang mudah. Pemerintah harus menghadapi pandemi Covid-19, di sisi lain juga berjibaku dengan ancaman resesi ekonomi. Diperlukan kepemimpinan yang jelas dalam mengelola negara di situasi seperti ini.
Namun, Hinca melihat pemerintahan Jokowi masih belum maksimal dalam membangun komunikasi dengan pemerintahan daerah. "Kita bisa lihat pada masa awal pandemi terdapat beberapa perbedaan pendapat serta kebijakan dalam menghadapi pandemi antara pusat dan daerah," ujar dia.
Komunikasi yang kurang pas, kata Hinca, juga terjadi tatkala UU Cipta Kerja disahkan bahkan sejak masa pembahasan. Menurut dia, dinamika seputar UU Ciptaker membuat suasana demokrasi terhimpit dan banyak menyisakan pertanyaan di otak publik tentang nafsu besar pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Hinca juga mengingatkan bahwa Jokowi pernah menaikan iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres No. 64 Tahun 2020 yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada akhir Februari lalu. Akan tetapi dua bulan kemudian iuran BPJS kembali naik melalui.
"Ini menunjukan tendensi yang sangat tidak baik dilakukan oleh Kepala Negara, seakan tidak mematuhi keputusan hukum yang ada," ujarnya menegaskan.
Politikus Senior Partai Demokrat ini pun mengingatkan agar ke depan, Jokowi mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia. "Boleh saja berbeda warna di periode kedua, akan tetapi tetap saja harus mengutamakan kepentingan Merah-Putih yang kita cintai," kata dia.