REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri memastikan, lembaganya akan memantau penuh gelaran pilkada serentak, salah satunya di NTB. Berdasarkan data KPK 2004-2020, NTB merupakan salah satu provinsi dari 26 daerah yang pernah terjadi tindak pidana korupsi.
Firli mengungkapkan, terdapat 12 kasus korupsi di NTB baik yang sudah maupun sedang diusut lembaga penegak hukum. Sebagian besar kasus melibatkan kepala daerah. “Ini memprihatinkan bagi kita,” kata Firli Bahuri dalam keterangannya, Ahad (25/10)
Firli pun merunutkan kasus korupsi di 26 Provonsi tersebut. Pertama di Jawa Barat yakni 101 kasus, Jawa Timur 93 kasus, kemudian 73 kasus di Sumatra Utara. Kemudian di Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 64, DKI Jakarta 61, Jawa Tengah 49, Lampung 30, Sumatra Selatan 24, Banten 24, Papua 22 kasus, Kalimantan Timur 22, Bengkulu 22, Aceh 14, Nusa Tenggara Barat 12, Jambi 12 dan Sulawesi Utara.
Selanjutnya yakni Kalimantan Barat 10 kasus, Sulawesi Tenggara 10, Maluku 6, Sulawesi Tengah 5, Sulawesi Selatan 5, Nusa Tenggara Timur 5, Kalimantan Tengah 5, Bali 5, dan Sumatera Barat sebanyak 3 kasus. "Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi,” ungkap Firli.
KPK, lanjut Firli, berharap, agar delapan dari dari 34 provinsi yang belum ditemukan tindak pidana korupsi oleh KPK untuk terus berbenah diri dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Begitu juga daerah-daerah yang pernah diusut KPK. Firli menambahkan, sejak 2004 hingga 2020, kasus kepala daerah tersebut paling banyak adalah kasus suap, sebanyak 704 kasus.
"Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah," kata Firli.
Dalam kesempatan sama, Firli juga mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Berdasarkan hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur.
Menurut Firli, sumbangan donatur atau dari hasil survei, KPK menemukan 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada. Adapun, sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp 18,03 miliar.
Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp 15,17 juta. Padahal, berdasar wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp 5 miliar hingga Rp 10 miliar dan bila ingin menang idealnya memilili uang Rp 65 miliar.
Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi Pilkada di NTB. Terlebih, Pilkada di Sumbawa salah satu kandidatnya adalah Dewi Noviany yang merupakan adik dari Gubernur NTB Zulkieflimansyah. "Tentu bisa berpontesi adanya dinasti politik. Potensi penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana," katanya.