REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha menolak seruan partai-partai oposisi untuk mundur dari jabatannya. Hal itu disampaikan saat Prayut berpartisipasi dalam sesi parlemen untuk membahas gelombang demonstrasi yang melanda negara tersebut selama beberapa bulan terakhir.
"Saya tidak akan lari dari masalah. Saya tidak akan meninggalkan tugas saya dengan mengundurkan diri pada saat negara memiliki masalah," kata Prayut pada Selasa (27/10), dikutip laman Channel News Asia.
Prayut mengaku telah setuju membentuk komite untuk mengkaji permasalahan yang disorot massa. Tapi Prayut tak tahu harus membahas atau membicarakan hal ini dengan siapa. "Karena tidak ada pemimpin. Mereka semua adalah pemimpin," ujarnya mengacu pada para pengunjuk rasa.
Pada Kamis pekan lalu Pemerintah Thailand telah mencabut status "keadaan darurat" yang diterapkan untuk mengakhiri gelombang demonstrasi anti-pemerintah dan monarki. Dengan berakhirnya status darurat, larangan pertemuan politik lima orang atau lebih tak berlaku. Kontrol terhadap penerbitan berita yang dapat mempengaruhi keamanan juga bakal diakhiri.
Sejak Juli lalu, warga yang didominasi pemuda dan mahasiswa telah menggelar demonstrasi menentang pemerintahan Prayut Chan-o-cha. Mereka menuding Prayut telah mencurangi pemilu tahun lalu untuk tetap berkuasa. Mantan jenderal yang menjadi tokoh utama dalam kudeta tahun 2014 telah membantah tuduhan tersebut.
Massa pengunjuk rasa turut menyerang pihak kerajaan Thailand. Mereka menyebut pihak kerajaan berpolitik dan telah memungkinkan adanya dominasi militer selama bertahun-tahun. Gelombang demonstrasi pada akhirnya turut menyuarakan tentang reformasi monarki.
Mengkritik kerajaan sebenarnya adalah hal yang tabu di Thailand. Istana Raja Maha Vajiralongkorn belum mengeluarkan komentar sejak aksi protes dimulai.