REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mabruroh, Fergi Nadira, Alkhaledi Kurnialam
Prancis menegaskan, bahwa mereka tidak akan menyerah terhadap upaya intimidasi yang dilakukan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Prancis menyatakan, akan melanjutkan perjuangannya melawan ekstremisme Islam dan tidak akan menyerah pada upaya destabilisasi dan intimidasi.
"Prancis tidak akan pernah meninggalkan prinsip dan nilai-nilainya," kata juru bicara pemerintah Prancis, Gabriel Attal, dilansir dari Arab News, Kamis (28/10).
Pada Sabtu (24/10), pemimpin Turki, Recep Tayyip Erdogan, menyerukan kepada warganya untuk berhenti membeli barang-barang Prancis pada Senin. Dorongan ini menjadi ekspresi kemarahan terbaru di dunia Muslim atas munculnya kembali karikatur Nabi Muhammad SAW di media Prancis.
Erdogan yang memiliki sejarah hubungan yang buruk dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengatakan Prancis mengejar agenda anti-Islam. "Saya menyerukan kepada semua warga negara saya dari sini untuk tidak pernah membantu merek Prancis atau membelinya," katanya.
Sebelum menyatakan boikot produk Prancis, Erdogan telah mempertanyakan kesehatan mental Macron. Dia mendorong Paris untuk memanggil duta besarnya di Ankara.
“Apa masalah orang bernama Macron ini dengan Muslim dan Islam? Macron membutuhkan perawatan pada tingkat mental," kata Erdogan dalam pidatonya pada Sabtu (24/10).
Kemarahan Erdogan dipicu oleh pernyataan Macron sebelumnya yang menuduh bahwa Islam radikal mengobarkan "separatisme" di Prancis. Komentar Macron itu muncul setelah peristiwa pemenggalan kepala seorang guru sejarah, Samuel Paty, dalam perjalanan pulang usai mengajar.
Paty sebelumnya telah menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada siswa yang diajarnya sebagai materi pelajaran Kebebasan Berekspresi. Pembunuhan yang dilakukan seorang remaja 18 tahun itu, memicu luapan amarah di Prancis.
Seusai pembunuhan terhadap Paty, Macron menunjukkan sikap pembelaan yang kuat terhadap tradisi sekulerisme Prancis. Macron berjanji menindak radikalisme Islam dengan menutup masjid yang dicurigai mengobarkan ide-ide ekstremis.
Macron menggambarkan Islam sebagai agama "dalam krisis" di seluruh dunia. Dan mengatakan bahwa pemerintah akan mengajukan rancangan undang-undang pada Desember mendatang, untuk memperkuat Undang-undang 1905 yang secara resmi memisahkan gereja dan negara di Prancis.
Prancis juga telah menarik utusan Duta Besarnya di Turki, pada Sabtu pekan lalu. Perseteruan itu bukan hanya dilatarbelakangi ucapan Macron atau Erdogan, tetapi juga respons terhadap berbagai masalah mereka termasuk hak maritim di Mediterania timur, Libya, Suriah dan konflik yang meningkat antara Armenia dan Azerbaijan atas Nagorno-Karabakh.
"Komentar Presiden Erdogan tidak dapat diterima. Kelebihan dan kekasaran bukanlah metode. Kami menuntut agar Erdogan mengubah arah kebijakannya karena berbahaya dalam segala hal," kata seorang pejabat Prancis dikutip France24, Ahad (25/10).
Pimpinan organisasi yang mewakili ulama Muslim di Prancis pada Selasa (27/10) juga menolak serangan Erdogan terhadap Macron. Ia juga mengkritik seruan Erdogan untuk memboikot barang-barang Prancis.
“Ini memalukan, Presiden Turki tidak mewakili Muslim, maupun dunia Muslim," jelas Presiden Konferensi Imam Prancis, Imam Hassen Chalghoumi dalam sebuah wawancara dengan buletinnya pada Selasa, (28/10).
Chalghoumi juga menyayangkan Erdogan memiliki perselisihan politik dengan banyak negara di kawasan seperti Bahrain, Arab Saudi, Mesir. Chalghoumi juga mengecam tuduhan Erdogan yang dibuat dalam pidatonya pada Senin di mana dia menyatakan bahwa Muslim di Eropa sekarang sedang menjadi sasaran kampanye lynch yang mirip dengan perlakuan kepada Yahudi sebelum Perang Dunia II.
“Di Prancis, Muslim memiliki kebebasan yang sama dan menikmati hak yang sama seperti semua warga negara mereka. Ada 2.500 rumah ibadah Muslim. Hukum republik mengizinkan semua orang untuk menjalankan iman mereka dengan bebas," ungkapnya.
Imam itu justru meminta warga Perancis yang beragama Muslim untuk mendukung Macron. “Ayo kuat bersama,” desaknya.
Di Indonesia, Kedutaan Besar Prancis, menilai, sejumlah komentar yang ditulis di jejaring sosial melencengkan posisi yang dipertahankan oleh Prancis demi kebebasan berekspresi, kebebasan beragama, dan penolakan ajakan kebencian. Komentar-komentar tersebut menjadikan pernyataan yang dibuat oleh Macron pada acara penghormatan nasional kepada Samuel Paty sebagai alat untuk tujuan politik.
"Padahal pernyataan itu bertujuan mengajak untuk melawan Islamisme radikal (radikalisme) dan perlawanan tersebut dilakukan bersama-sama dengan umat Muslim Prancis, yang merupakan bagian integral dari masyarakat, sejarah dan Republik Prancis," tulis pernyataan resmi Kedutaan Besar Prancis melalui laman resmi di Facebook, Selasa (27/10).
Kedubes Prancis menegaskan, sasaran Macron melawan separatisme hanyalah kelompok Islami radikal. Semua negara demokrasi, terutama Prancis dan Indonesia, sedang memerangi Islami radikal, yang menjadi penyebab serangan teroris di wilayah mereka.
"Presiden Emmanuel Macron menyatakan dengan jelas bahwa tidak ada maksud sama sekali untuk menggeneralisir, dan secara tegas membedakan antara mayoritas warga Muslim Prancis dengan minoritas militan, separatis yang memusuhi nilai-nilai Republik Prancis," tulis pernyataan itu.