Ahad 01 Nov 2020 12:45 WIB

Meletakkan Harapan Pada Vaksin Covid-19

Bahkan bagi penyintas Covid-19 vaksin memberi harapan hidup.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Indira Rezkisari
Seorang pejabat Indonesia mengenakan pakaian pelindung saat melakukan suntikan pada seorang relawan selama simulasi imunisasi COVID-19 di Depok, Jawa Barat, Indonesia, 22 Oktober 2020. Setidaknya 2.200 orang relawan di seluruh negeri akan menerima vaksin penyakit COVID-19 pada akhir tahun 2020. Pemerintah Indonesia akan memantau kesehatan fisiknya secara rutin dan jika uji coba tersebut terbukti berhasil maka pemerintah akan memproduksi 250 juta dosis vaksin pada tahun 2021.
Foto: EPA/Bagus Indahono
Seorang pejabat Indonesia mengenakan pakaian pelindung saat melakukan suntikan pada seorang relawan selama simulasi imunisasi COVID-19 di Depok, Jawa Barat, Indonesia, 22 Oktober 2020. Setidaknya 2.200 orang relawan di seluruh negeri akan menerima vaksin penyakit COVID-19 pada akhir tahun 2020. Pemerintah Indonesia akan memantau kesehatan fisiknya secara rutin dan jika uji coba tersebut terbukti berhasil maka pemerintah akan memproduksi 250 juta dosis vaksin pada tahun 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Zainur Mahsir Ramadhan

Tak butuh waktu lama bagi wartawan senior, Latief Siregar, untuk menceritakan bagaimana perjuangannya melawan Covid-19. Bagi penyintas Covid-19 itu vaksinasi adalah sebuah harapan.

Baca Juga

Vaksinasi yang masih abu-abu, kata dia, membawanya pada tekad kesembuhan. Utamanya, ketika bayangan soal kehidupan saat dirawat ia rasa pudar, karena kondisi yang sempat memburuk.

‘’Saat itu saya sakit, dan (membayangkan) bagaimana kehidupan setelah Covid-19, apa saya akan meninggal dunia?’’ ucap wakil pemimpin redaksi MNC News itu.

Latief mengenang, ketika pertama tertular wabah itu kecurigaan siapa yang menjadi pemicu memang sempat terngiang. Apalagi, ketika dua temannya yang sempat berinteraksi juga dikabarkan positif.

Tak lama, kecurigaan itu ia singkirkan, mengingat siapapun memang bisa terkena wabah yang tak terlihat. Hingga akhirnya di medio Agustus, saat dirawat di RS rujukan Covid-19, pemikiran itu semakin teralihkan oleh kondisinya.

Ketika dirawat di RS rujukan, ia berada di lantai tiga. Lantai dengan efek yang tergolong gejala ringan. Namun, saturasi oksigen yang sempat turun menjadi 90 persen terpaksa membuatnya diturunkan ke lantai dua untuk memakai ventilator.

‘’Dan kata perawat, kalau saturasi saya turun lagi, saya diturunkan lagi lantainya lagi. Ke lantai satu, kamar mayat,’’ kenangnya.

Jika menilik ke belakang sebelum dinyatakan positif, ia mengaku sebagai individu yang taat sekali mengenakan protokol kesehatan. Namun demikian, ia mengaku tak mau meributkan hal tersebut, mengingat banyak pemikiran di luaran yang memang harus diberi ruang.

‘’Tapi kalau saya saja yang taat bisa kena Covid, apalagi yang tidak,’’ tambah dia.

Membandingkan dengan kondisinya sebelum terinfeksi, Latief mengaku selalu berolahraga, lari belasan hingga puluhan kilometer. Namun, saat ini, dia merasa tak kuat melakukan hal tersebut. ‘’Saya merasa ada sisa dari penyakit Covid-19. Setelah saya sembuh, jangankan lari, sempat ke kamar mandi juga kesulitan,’’ ungkap dia.

Ketua Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI), Prof Sri Rezeki, mengatakan vaksin memang bisa dikatakan sebagai upaya pencegahan yang efektif. Dia menambahkan, sebagai alat yang mengandung zat biologis, vaksin, juga berguna sebagai antigen spesifik dari virus. Oleh karenanya, vaksinasi dengan dosis tertentu, bisa mencapai kekebalan tubuh terhadap virus tertentu.

Namun demikian, dalam menjawab tuntutan vaksinasi seluruh masyarakat, ia menampiknya. Sebab, menurut ilmu kedokteran, vaksinasi tidak harus diberikan kepada semua orang di suatu negara.

‘’Cukup sebagian besar saja, tujuannya untuk membatasi kemampuan patogen dalam menyebar. Jadi, dari situ, masyarakat yang tidak divaksinasi juga bisa sehat, dan kebal,’’ kata Guru Besar Ilmu Kedokteran UI itu.

Jika dihitung, untuk menuju herd imumunity, kata dia, memang ada imunisasi yang harus dilakukan pada jumlah tertentu. Utamanya, untuk memutus rantai penularan.

Dia melanjutkan, R0 Covid-19 yang berjumlah 2,5 orang harus dihitung dengan rumus tertentu untuk melihat berapa yang harus menerima vaksin. Menurut perhitungannya, jika R0 = 2,5 maka, P + 1- 1/3 =2/3 x 100 persen = 60/70 persen populasi. Oleh sebab itu, setidaknya jumlah populasi di Indonesia yang harus menerima vaksin agar herd immunity tercapai adalah 164 hingga 191 juta orang dari total 274 juta warga Indonesia.

Merujuk pada vaksin, penguatan imun, kata dia memang penting menjadi gambaran. Namun, tujuan utama dari vaksinasi adalah bagaimana melatih sistem imun dalam mengenal dan melawan patogen.

Ia menegaskan, untuk mengantisipasi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) perlu ada pengawasan ketat. Pasalnya, dikhawatirkan ada efek yang sama sekali tidak diakibatkan oleh vaksin, namun didalihkan pada vaksin itu sendiri.

‘’Misal, setelah vaksin orang itu terkena DBD, padahal itu bukan karena vaksin itu. Jadi seolah-olah vaksin menjadi KIPI,’’ katanya.

Dia menambahkan, KIPI memang bisa terjadi. Umumnya, dapat berupa gejala atau tanda klinis yang disebabkan oleh kelainan lab atau berupa penyakit. Walaupun, tidak berkaitan dengan vaksin itu sendiri.

Ia tak menampik, kausalitas KIPI memang ada hingga fase serius. Baik itu membutuhkan perawatan lanjutan, cacat dan kematian. Merujuk pada WHO, hal itu menurutnya dikarenakan kesalahan pada imunisasi.

Oleh karenanya, untuk antisipasi ke depan, puskesmas diharapkannya menjadi ujung tombak dalam imunisasi. Jadi, yang sudah didaftar untuk vaksin imunisasi, penyuntikan dilakukan di puskesmas, di samping rumah sakit mengingat terbatasnya tenaga medis.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement