REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN -- Menteri Luar Negeri Armenia Zohrab Mnatsakanyan mengundurkan diri dari jabatannya. Ia merupakan pejabat pemerintah dengan jabatan paling tinggi yang mundur usai Armenia menggelar kesepakatan gencatan senjata dengan Azerbaijan pekan lalu.
Pada Selasa (17/11), Aljazirah melaporkan pengunduran diri yang diumumkan juru bicara Kementerian Luar Negeri Armenia Senin (16/11) di Facebook ini dilakukan saat tekanan Perdana Menteri Nikol Pashinyan untuk mundur terus meningkat. Pekan ini ribuan orang turun ke jalan.
Pengunjuk rasa meminta Pashinyan mundur karena ia menandatangani gencatan senjata yang menguntungkan Azerbaijan dalam konflik di Nagorno-Karabakh. Perang yang menewaskan lebih dari 2.300 pasukan Armenia. Azerbaijan tidak mengumumkan jumlah korban jiwa mereka.
Pashniyan mengatakan ia bertanggung jawab hilangnya wilayah Armenia. Ia mengatakan perjanjian itu mencegah kerugian lebih besar dan menyelamatkan banyak nyawa setelah militer Azerbaijan mendapatkan kemajuan yang besar. Ia bersumpah bertahan di kursi pemerintahan dan membawa stabilitas di Armenia.
Pada Sabtu (15/11) lalu, Badan Keamanan Nasional Armenia mengatakan mereka menahan sejumlah mantan pejabat. "Yang berencana merebut kekuasaan dengan cara ilegal dengan membunuh perdana menteri," kata pasukan keamanan dalam pernyataan mereka.
Peneliti dari lembaga think tank Armenia, Regional Studies Center, Richard Girgagosian memperingatkan instabilitas dapat terus berlanjut. Ia mengatakan langkah pemerintah untuk menyiapkan masyarakat dalam menghadapi kekalahan sangat sedikit.
"Ketegangan terus berlanjut dan sayangnya situasi di dalam negeri semakin tidak stabil," kata Girgagosian pada Aljazirah.
Girgagosian mengatakan nasib Pashniyan masih belum dapat dipastikan. Pashniyan terpilih tahun 2018 usai rakyat Armenia menggelar unjuk rasa besar untuk menggulingkan pemerintah sebelumnya yang dituduh melakukan korupsi.
"Pashinyan berkuasa pada tahun 2018 dalam aksi tanpa kekerasan rakyat meraih kemenangan, dia penyintas dan plot pembunuhan terhadapnya pun dilakukan kelompok terpinggirkan yang berkaitan dengan pemerintah sebelumnya, nasib politiknya berada di tangannya sendiri," kata Girgagosian.
Sementara itu, Kremlin mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan sambungan telepon dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Mereka membahas konflik Nagorno-Karabakh.
Dua kepala negara itu mengatakan situasi di kawasan cukup stabil dan kini saatnya membahas isu humanitarian seperti mengembalikan para pengungsi dan memperbaiki gereja dan kuil Kristen. Walaupun Armenia sudah menyerahkan sebagian besar wilayahnya dan mengerahkan pasukan perdamaian Rusia, tetapi solusi jangka panjang dalam konflik yang sudah berlangsung puluhan tahun itu belum dapat disimpulkan.
Sejak tahun 1990-an kelompok tiga negara Rusia, Prancis dan Amerika Serikat yang disebut Minsk Group belum berhasil membuat solusi jangka panjang. Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengambil pendekatan keras dalam kemenangannya. Ia menarik kembali janji untuk memberikan otonom pada Nagorno-Karabakh.
"Karabakh tidak akan memiliki status (otonom) selama saya menjadi presiden," kata Aliyev.