REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Amirsyah Tambunan, Sekjen MUI Pusat
Para ulama yang berhimpun di MUI berkhitmah untuk mengatasi permasalahan umat bangsa. Diantaranya permasalahan kebodohan dan kemiskinan hingga saat ini masih belum selesai. Setiap kepemimpinan berbeda permasalahan yang dihadapi. Kepempinan MUI saat ini lahir di tengah wabah Covid-19 dan pascaMunas MUI X masih berjuang menghadapi wabah Covid-19 dengan cara menggalang kekuatan ikhtiar, doa dan tawakkal kepada Allah SWT.
Permasalahan yang dihadapi bangsa saat ini sangat kompleks, terutama di masa pandemi Covid-19. Mulai dari masalah politik, ekonomi, penegakan hukum hingga masalah rapuhnya kepedulian sosial antara sesama anak bangsa. Masalah tersebut tentu membuat kita miris ketika menyaksikan realitas yang saat ini terjadi antara lain mewabahnya sikap pragmatis dalam hidup sehingga jauh dari nilai-nilai agama, lemahnya semangat untuk menuntut ilmu, memudarnya tradisi keilmuan yang menjadi tonggak peradaban, dan rapuhnya kekuatan politik umat, terutama dalam melaksanakan politik kebangsaan.
Semua permasalahan tersebut membutuhkan jawaban dan kesungguhan kita untuk mengubah nasib umat Islam yang tertinggal menjadi umat terdepan, umat yang maju dan kuat, baik dari segi keilmuan, budaya, ekonomi, sosial, dan politik. Sambutan Ketua Umum MUI KH Miftah Ahyar dalam penutupan Munas antara lain berdakwah adalah pekerjaan yang mulia dengan mengajak, bukan mengejek, merangkul, bukan memukul, menyayangi, bukan mnyaingi, mendidik, bukan membidik, membina, bukan menghina, mencari solusi, bukan mencari simpati, membela, bukan mencela.
Untuk mengurai permasalahan yang dihadapi MUI penting memahami peta jalan guna mencari solusi ke tertinggalan umat dan bangsa. Semakin rinci para pemimpin menguasai permasalahan, maka semakin mudah menyelesikan masalah.
Misalnya masalah mendesak yang harus diselesaikan umat antara lain, menanamkan keyakinan yang kuat, mengembalikan semangat kaum muslimin untuk menuntut ilmu, mengokohkan basis-basis keilmuan, menghidupkan semangat ilmiah dalam menyelesaikan segala persoalan, menjaga adab atau akhlak sebagai orang yang berilmu, serta membangun kesadaran umat dalam bidang politik, ekonomi dan sosial budaya. Pertanyaannya mengapa umat dan bangsa masih mengalami kemunduran dalam membangun peradaban umat dan bangsa? Sebenarnya Alquran QS Hud Ayat 88 telah memberikan dasar yang kuat utk terus melakukan perbaikan guna membangun peradaban. Sebagaimana firman Allah SWT QS Huda ayat 88.
قَالَ يٰقَوۡمِ اَرَءَيۡتُمۡ اِنۡ كُنۡتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنۡ رَّبِّىۡ وَرَزَقَنِىۡ مِنۡهُ رِزۡقًا حَسَنًا ؕ وَمَاۤ اُرِيۡدُ اَنۡ اُخَالِفَكُمۡ اِلٰى مَاۤ اَنۡهٰٮكُمۡ عَنۡهُ ؕ اِنۡ اُرِيۡدُ اِلَّا الۡاِصۡلَاحَ مَا اسۡتَطَعۡتُ ؕ وَمَا تَوۡفِيۡقِىۡۤ اِلَّا بِاللّٰهِ ؕ عَلَيۡهِ تَوَكَّلۡتُ وَاِلَيۡهِ اُنِيۡبُ
Artinya:
Dia (Syuaib) berkata, "Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.
Berdasarkan ayat ini dengan tegas memberikan solusi yakni perintah Allah SWT agar para pemimpin suatu kaum sejak dahulu kala hinggi kini terus berikhtiar untuk melakukan perbaikan (islah) dengan sekuat tenaga. Tentu perbaikan yang bersifat stategis sehingga mempunyai dampak kepada seluruh lapisan masyarakat terutama masyarakat kecil yang kena dampak Covid-19.
Berdasarkan hal tersebut tentu membutuhkan kesungguhan melakukan ikhtiar. Artinya ikhtiar yang bersifat secara profesional. Udah tidak zamannya lagi ikhtiar bersifat klasik dengan cara tradisional, karena zaman yang berubah membutuhkan sistem yang terukur, sehingga permasalahan umat dan bangsa dapat diselesikan. Sejalan dengan ikhtiar tersebut, kita terus memohon pertolongan dan petunjuk Allah SWT, sehingga Allah memudahkan para pemimpin untuk menyelesaikan berbagai agenda antara lain.
Pertama, agenda menyelesaikan rapuhnya keyakinan umat beragama, mengakibatkan lahirnya kecendrungan ektrim kiri dan ektrim kanan, sehingga melahirkan sikap oportunis, hedonisme, radikal-terorisme dan bentuk lainnya. Kedua, agenda lemahnya kepedulian sosial, mengakibatkan rapuhnya kekuatan sosial. Untuk itu diperlukam tafsir sosial yang dapat menjadi perekat sosial (kohesifitas sosial) semua kekuatan masyarakat dalam memperkuat kepedulian dan kepekaan sosial.
Ketiga, agenda penguatan umat (taqwiyatul ummah) melalui UMKM sangat mendesak. Karena itu pemerintah harus fokus memberikan affirmative action dan keberpihakan agar usaha kecil dan menengah segera bangkit. Keempat, agenda penguatan penegakan hukum, sehingga tethindar dari tebang pilih, diskriminatif, dan tindakan hukum main hakim sendiri.
Kelima, bidang pendidikan untuk penguatan soft skill dan keterampilan hidup (life skill) secara seimbang, sehingga dapat memperkuat Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermanfaat guna mengatasi berbagai problem umat dan bangsa. Sesuai hadis Nabi Muhammad SAW
عن جابر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « المؤمن يألف ويؤلف ، ولا خير فيمن لا يألف ، ولا يؤلف، وخير الناس أنفعهم للناس »
Dari Jabir, ia berkata,”Rasulullah Saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni).
Dengan demikian ikhtiar untuk memperbaiki maslah umat dan bangsa dapat dilakukan dengan bersinergi bersama kekuatan anak bangsa.