REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan hukuman mati untuk para koruptor yang melakukan korupsi hanya sebagai alat politik. Menurutnya, hal ini dilakukan untuk menutupi kerja yang tidak maksimal dan kegagalan pada sistem.
Erasmus menilai pada dasarnya, hukuman mati bukan solusi tepat. Sebab, sampai saat ini belum ada penurunan kasus korupsi di Indonesia.
"Jadi, saya lihat ada saja kemungkinannya para koruptor dihukum mati. Tapi perlu diingat rekam jejak di Indonesia memperlakukan hukuman mati hanya sebagai alat politik dan kampanye popularitas," tutur Erasmus saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (6/12).
Ia menambahkan, 10 negara terbaik dalam penanganan kasus korupsi tidak menerapkan hukuman mati. Kemudian, ia melanjutkan tuntutan pidana mati pada pelaku korupsi disandarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang membuka peluang penjatuhan hukuman mati dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan pada keadaan tertentu.
Efek jera yang dimiliki jenis pidana ini, dipercaya dapat membantu mengurangi angka korupsi. Namun, pada kenyataannya belum ada angka penurunan korupsi di Indonesia. Erasmus menuturkan, dalam penelitian yang dilakukan Jiangnan Zhu pada 2012, ditunjukkan kalau hukuman mati yang dijatuhkan terhadap koruptor di Cina hanyalah menurunkan frekuensi investigasi korupsi dibandingkan dengan frekuensi korupsi yang terjadi.
Terlepas dari ancaman pidana korupsi di Cina yang sangat berat, level korupsi tidak terlihat menunjukkan penurunan yang signifikan. Walaupun korupsi yang berada di ukuran kecil (petty corruption) mungkin menunjukkan penurunan, namun kasus-kasus yang melibatkan pemain yang 'besar', pejabat dengan kekuasaan maupun sekelompok pejabat justru semakin banyak ditemukan.
"Bahkan di Cina, dimana hukuman pidana mati jelas tidak hanya tertulis saja, tidak adanya penurunan secara signifikan angka korupsi kelas kakap yang merugikan negara," kata dia.
Ia menambahkan tanpa adanya hukuman pidana mati pada koruptor, sebuah negara masih bisa mencapai cita-cita antikorupsinya dengan maksimal seperti di Denmark, New Zealand, Finlandia dan Singapura.
"Solusi yang tepat itu ya dari sekarang pemerintah harus memperbaiki sistemnya, perkuat pengawasan dan kejar keberadaan uang yang telah dikorupsinya itu. Mana saja yang terlibat hingga akarnya. Lalu, ungkap ke masyarakat. Hukuman mati bukan jawaban dan memang tidak pernah," tegas dia.
Sebelumya, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Firli Bahuri menyatakan Menteri Sosial Juliari Batubara bisa diancam dengan hukuman mati. Ancaman hukuman mati bisa diberikan kepada Juliari jika terbukti melanggar Pasal 2 UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Ya, kita paham bahwa di dalam ketentuan UU Nomor 31 tahun 1999 pasal 2 yaitu barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara di ayat 2 memang ada ancaman hukuman mati," ujar Firli di Gedung KPK, Ahad (6/12) dini hari.
Selama masa pandemi Covid-19, kata Firli, pihaknya juga terus mengimbau bahkan mengancam agar semua pihak agar tidak menyalahgunakan bantuan sosial, sebab ancaman hukumannya adalah mati. Terlebih, sambung Firli, pemerintah juga telah menetapkan pandemi Covid-19 ini sebagai bencana nonalam.