REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menargetkan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) milik Indonesia atau kerap disebut Indonesia Investment Authority (INA) dapat beroperasi pada kuartal pertama tahun ini. Saat ini, implementasinya masih menunggu penunjukkan direksi INA yang diperkirakan rampung pada pekan depan.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, dana pengelolaan dari INA nanti akan dimanfaatkan sebagai alternatif pembiayaan pembangunan di Indonesia. Pemerintah sendiri telah membuat landasan hukumnya melalui Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan telah dituangkan dalam dua Peraturan Pemerintah (PP).
Terbaru, pada pekan lalu, Presiden Joko Widodo baru saja melantik Dewan Pengawas LPI yang di dalamnya mencakup Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Thohir dan tiga profesional.
"Lembaga ini akan beroperasi di kuartal pertama tahun ini dengan modal awal 5 miliar dolar AS," tutur Airlangga dalam Mandiri Investment Forum secara virtual pada Rabu (3/2).
Airlangga menuturkan, beberapa negara sudah menunjukkan ketertarikan dari investor asing. Misalnya saja, DFC dari Amerika Serikat yang telah menyampaikan letter of interest (LoI) hingga 2 miliar dolar AS. Selain itu, JBIC dari Jepang menyatakan potensi investasi hingga 4 miliar dolar AS. Keduanya akan masuk dalam kategori master fund.
Sementara itu, untuk thematic fund atau pendanaan yang tematik, Indonesia juga sudah mendapatkan ketertarikan dari banyak negara. Sebut saja Canada yang memberikan LoI sampai 2 miliar dolar AS, sementara APG Belanda dengan komitmen yang berpotensi menyentuh 1,5 miliar dolar AS.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menjelaskan, jajaran direksi INA akan segera diumumkan pada pekan depan. "Saya harap minggu ini atau minggu depan kita bisa mengumumkan siapa BoD (board of directors/dewan direksi) yang akan urus kewenangan investasi," katanya, dalam kesempatan yang sama.
Sejumlah nama tokoh sempat beredar untuk masuk ke jajaran direksi. Di antaranya, mantan kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong, mantan menteri perdagangan Gita Wirjawan, Direktur Utama Credit Suisse Rizal Gozali, mantan direktur keuangan Pertamina Arief Budiman, sampai Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Patria Sjahrir.