REPUBLIKA.CO.ID, Pesawat Hawk 100/200 dengan nomor ekor TT-0204 dan TL-0102 terbang di sekitar Laut Natuna Utara, yang berbatasan dengan Laut China Selatan, beberapa waktu lalu. Pesawat buatan Inggris ini terbang mengitari kawasan perbatasan dengan perairan yang menjadi wilayah sengketa antara beberapa negara Asia Tenggara dan Republik Rakyat Cina (RRC).
Duo Black Panther, julukan jet tempur tersebut sedang menjelajah setiap sudut wilayah udara paling utara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dua pesawat Hawk 100/200 dari Skadron Udara 12 Lanud Roesmin Noerjadin Pekanbaru ini sengaja diterbangkan untuk melaporkan kondisi terkini di wilayah operasi.
Selain itu, pesawat generasi empat ini dikerahkan untuk memantau segala aktivitas di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I. Komandan Skadron Udara (Danskadud) 12, Letkol Pnb Fardinal Umar memimpin langsung pelaksanaan patroli udara, termasuk ketika digelar Operasi Alur Samudra Tahun 2020.
Fardinal menuturkan, kondisi pandemi Covid-19 tidak menyurutkan jajaran Skadud 12 dalam menjaga kedaulatan negeri dari ancaman luar. Selama ini, Black Panther menjadi andalan dalam memantau aktivitas di Selat Malaka hingga pulau-pulau terluar di wilayah Indonesia bagian barat. Bagi Fardinal, pengawasan ruang udara tak boleh kendur sedikit pun, termasuk dengan alasan pandemi Covid-19.
"Patroli keamanan perbatasan wilayah negara selama pandemi tetap kita jaga. Walaupun kondisi pandemi, itu tetap ada perintah operasi setiap tahun dari Mabes Angkatan Udara ke kotama (komanda utama) kita yang di bawah Koopsau (Komando Operasi AU) I," kata Fidelle, call sign Fardinal kepada Republika, Rabu (3/2).
Fardinal mengatakan, patroli menjadi sebuah kewajiban dalam mencegah terjadinya pelanggaran udara di wilayah Indonesia bagian barat. Dia menjelaskan, pesawat Hawk bertanggung jawab memantau kawasan Selat Malaka, Laut Natuna Utara, hingga Selat Sunda. Tiga titik itu sangat krusial lantaran menjadi lokasi lalu lintas pesawat dan kapal asing yang melintas di wilayah RI.
Karena wilayah yang dijelajahi terbilang luas, kata dia, jadwal patroli Skadud 12 dibuat bergiliran bersama Skadud 16 Lanud Roesmin Noerjadin dan Skadud 01 Lanud Supadio Pontianak. "Sebulan itu ada jadwalnya, tak bisa kita sampaikan rutenya, yang jelas kita acak. Waktu acak, dan sesering mungkin kita kalau patroli. Rute setiap bulan pasti ada, apakah pekan pertama, kedua, ketiga, ganti-gantian dengan skadron lain," ucap Fardinal.
Dia menuturkan, ketika ditugaskan patroli, Black Panther juga ikut mengawasi kegiatan kapal yang melintas di ALKI I. Hal itu lantaran Selat Malaka sampai Selat Sunda itu menjadi rute berbagai kapal dalam dan luar negeri, yang diizinkan melintas.
Di sepanjang rute patroli, menurut Fardinal, jika memang pesawat TNI AU menemukan ada pelanggaran kapal, misal berhenti atau keluar dari titik koordinat yang ditentukan, pilot langsung memotret dan peristiwa kejadian itu ke pimpinan. Nantinya unsur pimpinan koordinasi dengan TNI Angkatan Laut (AL) untuk melakukan penindakan.
Dengan kerja sama antarmatra, diharapkan segala bentuk pelanggaran di wilayah NKRI bisa ditindak oleh TNI. "Jika ada temuan pelanggaran, kita koordinasikan dengan KRI yang terlibat. Penindakan nanti oleh Angkatan Laut. Kita khusus memantau pergerakan kapal yang banyak lewat jalur ALKI, tak boleh keluar border garis, dia melintas tak boleh berhenti," kata Fardinal.
Berkat patroli udara rutin, Fardinal mengeklaim, wilayah Indonesia menjadi lebih berdaulat. Hal itu dibuktikan dengan pelanggaran pesawat asing di wilayah Indonesia bagian barat selama setahun terakhir relatif tidak ada. Baik di kawasan semenanjung Malaysia hingga Laut Natuna Utara, Ferdinal belum menemukan pesawat, baik militer maupun sipil yang membawa penumpang masuk wilayah udara NKRI secara ilegal.
"Pesawat asing (militer) ya banyak masuk, tapi semua sudah dapat perizinan, ada fligt clearence, termasuk dengan pesawat sipil. Karena semuanya tetap menghargai kedaulatan masing-masing. Amerika Serikat, China, dan Malaysia yang sering melintas menuju Serawak melintas lewat Natuna sudah mendapat izin fligt cleaarence," kata abituren Akademi Angkatan Udara (AAU) 2002 ini.
Keberadaan Lanud Raden Sadjad di Pulau Natuna, Provinsi Kepulauan Riau sangat strategis dalam mendukung operasi pesawat TNI AU yang berpatroli di perbatasan Laut China Selatan. Komandan Lanud Raden Sadjad, Kolonel Pnb Dedy Ilham S Salam, menjelaskan, selama ia berdinas di Natuna selama empat bulan terakhir, belum ada laporan adanya pesawat asing melintas tanpa izin.
Informasi tersebut didapatkannya dari laporan Satuan Radar (Dansatrad) 212 Ranai, yang bertugas mengawasi pergerakan pesawat asing melintas di wilayah perbatasan negara. Hal itu menandakan kedaulatan ruang udara di RI dihormati negara lain, meski disebut-sebut Laut Cina Selatan sedang memanas.
"Selama saya di sini belum ada ya (pelanggaran), karena di sini mungkin dengan ancaman (gejolak) Laut Cina Selatan, tak ada pesawat (militer asing) melintas. Yang lewat di atas kita hanya pesawat angkut saja," kata Dedy ketika dikonfirmasi Republika.
Dia menjelaskan, Lanud Raden Sadjad tidak memiliki skadud, sehingga hanya berfungsi menjadi pangkalan pendukung operasi. Meski begitu, menurut Dedy, pesawat TNI AU kerap berpatroli melintasi wilayah Natuna demi menjaga supaya tidak ada pelanggaran kedaulatan udara. Patroli pesawat di perbatasan perairan Laut Cina Selatan kerap digelar sesuai perintah operasi dari Mabes AU.
"Banyak operasi pengamatan udara, kayak pesawat intai maritim besok datang di sini berputar balik lagi. Kami menyiapkan menjadikan pangkalan ini jadi daerah operasi," ucap Dedy, alumnus AAU 1995 ini.
Siaga di Natuna
Panglima Koopsau I Marsda Tri Bowo Budi Santoso mengaku, menaruh perhatian khusus terhadap wilayah Natuna. Karena itu, ia menginstruksikan lanud terdekat di kawasan perbatasan untuk selalu bersiaga menghadapi kemungkinan kondisi paling buruk. Kebijakan itu ditempuh Tri Bowo menyikapi meningkatnya eskalasi di Laut Cina Selatan yang melibatkan dua negara besar, yaitu AS dan RRC, serta beberapa negara ASEAN.
"Komandan Lanud Natuna, Batam, Tanjung Pinang, Medan, Banda Aceh itu jadi bagian penting, termasuk Pontianak. Kalau terjadi konflik memuncak, pesawat-pesawat mereka kalau darurat pasti cari yang terdekat, kata Tri Bowo saat ditemui Republika di Markas Kooopsau I, Jaktim, beberapa waktu lalu.
Mantan Danlanud Silas Pare Jayapura ini menerangkan, saat ini, AS dan RRC saling menunjukkan hegemoni masing-masing. Karena lokasinya yang dekat dengan Laut Natuna, ia meyakini, sengketa Laut Cina Selatan pasti berimbas ke RI. Karena itu, TNI AU wajib selalu waspada dan tidak boleh menyederhanakan masalah, dengan menganggap RI tidak terlibat konflik tersebut.
Pihaknya menekankan, semua armada di lanud yang berada di bawah Koopsau I harus selalu dalam kondisi siaga. Dengan demikian, kapan pun dibutuhkan untuk melakukan operasi, mereka dalam keadaan siap terbang. "Ingat si vis pacem, para bellum. Itu menjadi bagian penting. Paling tidak kalau terjadi konflik memuncak, pesawat mereka kalau emergency harus siap," kata Tri Bowo.
Dia juga menyinggung intensitas penerbangan pesawat militer di wilayah Natuna hingga Selat Malaka pada 2020, yang terus meningkat. Karena itu, Tri Bowo menginstruksikan, Koopsau I juga terus berkoordinasi dengan Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) untuk meningkatkan pemantauan radar penerbangan.
Pihaknya ingin membuat pertahanan udara di Indonesia bagian barat lebih siap dalam menghadapi konflik Laut Cina Selatan. Langkah itu bukan berarti Indonesia siap terlibat dalam konflik militer, melainkan lebih sebagai antisipasi agar ekses buruk bisa dicegah.
"Kok sekarang penerbangan makin ramai manuver di wilayah utara Natuna dan utara Riau. Kalau cuek-cuek saja kita bahaya. Karena itu, saya sudah tugaskan khusus asisten intelijen untuk memantau," kata Tri Bowo yang tidak memerinci penerbangan militer dari negara mana berasal.