Sabtu 06 Feb 2021 06:39 WIB

Jenderal Arloji Kanan yang Ingin Perwira TNI AD Jadi Sarjana

Jenderal Wismoyo kerap memberikan arloji kepada komandan setiap melakukan kunjungan.

Presiden ke-2 RI Jenderal Besar Suharto (kiri) didampingi KSAD periode 1993-1995 Jenderal Wismoyo Arismunandar (kanan).
Foto: REUTERS
Presiden ke-2 RI Jenderal Besar Suharto (kiri) didampingi KSAD periode 1993-1995 Jenderal Wismoyo Arismunandar (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Lelaki berkulit sawo matang, beralis tebal, melihat arloji di tangan kanannya. Ia mengingatkan para prajurit untuk disiplin waktu dalam program back to basic. Baginya, disiplin adalah napas prajurit, kesetiaan adalah jiwa tentara, dan kehormatan segala-galanya untuk militer.

Lelaki beralis tebal dan menggunakan arloji di tangan kanan itu adalah Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar. Pada 10 Februari 2021 ini, usianya akan genap 81 tahun. Namun, dua pekan sebelum ulang tahunnya, ia wafat, karena sakit pada 28 Januari 2021 lalu.

Memang jarang orang menggunakan arloji di tangan kanan. Tidak lazim. Umumnya orang menggunakan arloji di tangan kiri. Wismoyo beralasan, saat dia remaja, teknologi jam menggunakan semacam pegas atau per. "Arloji mesti sering digerakkan agar jarum jam bergerak konstan".

Alasan itu yang digunakan Wismoyo, karena tangan kanan lebih sering bergerak, maka arloji pun dipasang di tangan kanan. Mungkin Wismoyo lupa, zaman sudah lebih maju. Teknologi arloji pun tidak lagi menggunakan pegas. Tetapi dia sudah terlanjur dengan cara berpikir pada tahun 1950-an saat dia remaja di Bondowoso, Jawa Timur, tanah kelahirannya.

Dalam setiap kunjungan kerjanya, ia kerap memberikan arloji kepada para komandan lapangan satuan tempur maupun bantuan tempur. Seperti komandan detasemen, batalyon, resimen, maupun komandan brigade. Termasuk kepada komandan komando teritorial, seperti komandan kodim, korem, maupun panglima kodam (pangdam). Lagi-lagi ia memberikan hadiah arloji yang dipasangkan di tangan kanan para komandan tersebut.

Banyak kejadian lucu. Ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar mengunjungi satuan-satuan AD pada 1993-1995, para prajurit pun mengganti posisi arlojinya dari kiri ke kanan. Setelah Wismoyo balik, mereka kembalikan lagi posisi arloji ke tangan kiri.

Jenderal-jenderal AD ketika rapat ke Markas Besar (Mabes) ABRI di Cilangkap, Jakarta Timur, mengganti posisi arlojinya ke tangan kiri. Untuk menghormati Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung yang menggunakan arloji di tangan kiri. Kalau rapat ke Mabesad, di Gambir, Jakarta Pusat, mengganti posisi arlojinya ke tangan kanan untuk menghormati kebiasaan Jenderal TNI Wismoyo.

Pernah suatu ketika, penulis ke Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dan bertemu Brigjen TNI Agum Gumelar yang sedang mengikuti pendidikan singkat Lemhannas. Terlihat, Agum tidak menggunakan arloji di tangannya. Tentu penasaran dengan pemandangan yang tidak lazim ini. "Pak Agum, mana jam tangannya?"

"Ini saya kantongi di saku celana," jawab Agum sambil tersenyum. Kemudian menunjukkan arlojinya.

Beberapa perwira tinggi menimpali, tidak ingin dicap sebagai kelompoknya jenderal A atau jenderal B, hanya karena penempatan arloji. Mau dipasang di tangan kanan atau tangan kiri, itu soal selera dan kebiasaaan saja. Tak usah dipersoalkan, karena tidak prinsip sama sekali.

Perwira sarjana

Wismoyo mengakui keluarganya pintar-pintar secara akademik. "Mungkin saya yang paling bodoh di antara saudara-saudara saya," kata Wismoyo, sambil tersenyum. Entah benar atau tidak, hanya Wismoyo yang tahu.

Dia mengakui saat menjadi taruna Akademi Militer (Akmil) tahun 1960-1963, dia tidak termasuk taruna yang berprestasi secara akademik. "Saya lulus pas-pasan saat dilantik menjadi Letnan Dua korps Infanteri. Tapi saya ingin jadi komandan lapangan yang baik," ujar Wismoyo, lulusan Akmil 1963, berbarengan besama Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan dan Letjen TNI (Purn) Kuntara.

Ketiganya secara berurutan pernah menjadi Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus). Wismoyo adalah Danjen Kopassus pertama yang berasal dari lulusan Akmil. Ia menggantikan Mayjen TNI Yogie S Memet yang menjadi Danjen Kopassus selama delapan tahun (1975-1983).

Brigjen TNI Wismoyo memimpin Kopassus pada 1983-1985. Dia digantikan Brigjen TNI Sintong Panjaitan pada 1985-1987. Kemudian Brigjen TNI Kuntara menjadi Danjen Kopassus selama lima tahun 1987-1992. Mengapa Wismoyo merasa agak 'bodoh' dibandingkan dengan saudara-saudara kandungnya?

Jenderal bintang empat itu merupakan anak dari pasangan Sri Wurjan dan Arismunandar. Kakak-kakaknya, yaitu Wiranto Arismunandar adalah Guru Besar Termodinamika ITB (Institut Teknologi Bandung). Pernah menjadi Rektor ITB (1988-1997), dan sempat menjadi Menteri Pendidikan (1998).

Budiono Arismunandar, lulusan Akademi Perkebunan. Pernah jadi Direktur PT Perkebunan Nusantara di Jawa Timur dan Aceh. Artono Arismunandar, lulusan Teknik Elektro ITB. Pernah jadi Inspektur Jenderal Listrik dan Energi Baru, Departemen Pertambangan dan Energi.

Sedang saudari-saudari mereka, yakni Titi Rarasati Arismunandar dan Retnowati Arismunandar, pernah belajar di UGM (Universitas Gadjah Mada). Jadi guru sains (matematika dan fisika) di sekolah menengah atas negeri (SMAN). Orang tua mereka, Sri Wurjan dan Raden Arismunandar, sangat peduli terhadap pendidikan anak-anaknya.

Saat menjadi KSAD, Wismoyo pun ingin para perwira menyelesaikan pendidikan sarjana strata satu (S-1). Para perwira, khususnya perwira pertama, dianjurkan untuk melanjutkan kuliah. Diharapkan sebelum melanjutkan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), sudah memiliki gelar sarjana umum (nonmiliter).

Kodam Jaya/Jayakarta, misalnya, menindaklanjuti dan menjalin kerja sama dengan Universitas Terbuka (UT) dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM). Pangdam Jaya Mayjen TNI Hendroproyono dan Kasdam Jaya Brigjen TNI Wiranto langsung ikut kuliah. Maka tak usah heran, keduanya memiliki dua gelar SIP (sarjana ilmu politik) dari UT dan SH (sarjana hukum) dari STHM.

Wismoyo membantu membiayai perwira yang mengikuti studi di perguruan tinggi. Dia ongkosi uang SKS (satuan kredit semester) sebesar Rp 250 ribu. Dia ingin para perwira juga bisa menjadi doktor (S-3). Sementara perwira pertama saat itu, misalnya Kapten (Infanteri) Andika Perkasa meraih gelar SE (Sarjana Ekonomi) sebelum melanjutkan Seskoad tahun 2000.

Andika yang sekarang menjadi KSAD pun menjadi lulusan terbaik Seskoad saat itu. Bahkan akhirnya Andika memiliki tiga gelar magister (master) dan menyandang gelar doktor kebijakan dan administrasi publik dari Amerika Serikat. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement