REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mempertanyakan sikap sejumlah fraksi di DPR RI dan pemerintah yang menolak revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu). Menurut dia, alasan UU Pemilu tak diperlu direvisi setiap lima tahun sekali bukan alasan yang kuat sedangkan banyak persoalah pemilu yang harus dibenahi .
"Ini sangat patut dipertanyakan dan juga menjadi sangat aneh baik partai politik ataupun pemerintah merasa tidak perlu melakukan revisi Undang-undang Pemilu," ujar Fadli dalam diskusi daring Maju Mundur Revisi UU Pemilu, Ahad (7/2).
Fadli menyayangkan sikap beberapa fraksi partai politik di DPR yang menolak revisi UU pemilu karena mengikuti sikap pemerintah. Seharusnya, DPR menjadi penyeimbang arah kebijakan kekuasaan, bukan begitu saja menuruti kemauan pemerintah.
Menurut Fadli, DPR bisa melihat secara komprehensif atas kebutuhan pengaturan proses penyelenggaraan pemilu. Ia mengingatkan agar revisi UU Pemilu dibatalkan hanya karena kepentingan segelintir pihak terkait kontestasi politik.
"Kan tidak semua juga keinginan dari pemerintah itu harus dituruti sekalipun mereka adalah partai politik koalisi dari pemerintah yang saat ini berjalan," tutur dia.
Fadli juga menyesalkan alasan pemerintah yang tak ingin ada revisi UU Pemilu karena situasi pandemi Covid-19. Padahal, UU Pemilu justru harus direvisi untuk menyediakan kerangka hukum penyelenggaraan pemilihan di tengah kondisi bencana nonalam seperti pandemi Covid-19.
"Jadi secara formal menurut saya ini memang sangat perlu untuk ditunggu dan kita berharap muaranya adalah perbaikan terhadap kerangka hukum penyelenggaraan pemilu ke depan," ucap Fadli.
Fadli mengatakan, yang perlu didiskusikan saat ini adalah desain penyelenggaraan pemilu yang mencakup pembenahan di segala sisi. Ia menilai, UU Nomor 7 Tahun 2017 saat ini belum memadai diberlakukan dalam jangka panjang untuk dua sampai lima penyelenggaraan pemilu.
Padahal, sejak awal sejumlah pihak setuju adanya masalah dalam pengaturan pemilu sekarang sehingga perlu diperbaiki. Persoalan yang paling disorot terkait beban penyelenggara pemilu yang cukup berat dalam Pemilu 2019 dengan lima kotak suara, saat pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR RI, DPD RI, dan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan sekaligus.
"Kalau sekarang konteksnya semua pihak merasakan ada problem dari kerangka hukum pemilu yang berlaku sekarang, baik di dalam UU Pemilu maupun UU Pilkada, masa iya kita mau memaksakan ini bisa berlaku tiga sampai empat kali pemilu?" kata Fadli.