REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Tahu dan tempe menghilang dari Pasar Baru Indramayu, Jawa Barat pada Selasa (23/2). Hal itu menyusul aksi mogok para produsen tahu dan tempe akibat mahalnya harga kedelai.
"Dari kemarin tahu dan tempe kosong, tidak ada yang jual," ujar seorang pemilik warung sayuran di Kelurahan Margadadi, Kecamatan Indramayu, Anah kepada Republika, Selasa (23/2).
Anah setiap hari berbelanja ke Pasar Baru Indramayu untuk mengisi warung sayurannya. Namun, sejak Senin hingga hari ini, dia tak bisa membeli tahu dan tempe karena kosong.
"Infonya (produsen tahu tempe) mogok selama tiga hari," kata Anah.
Puluhan produsen tahu dan tempe di sentra produksi tahu tempe Blok Bungkul, Kelurahan Bojongsari, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, mogok produksi. Hal itu sebagai bentuk protes terhadap mahalnya harga kedelai impor.
Aksi mogok dimulai pada Senin (22/2) dan direncanakan hingga Rabu (24/2). Aksi tersebut membuat konsumen di wilayah Indramayu Kota kesulitan memperoleh tahu tempe.
Salah seorang produsen tahu tempe, Roheti, menyebutkan, dalam kondisi normal, harga kedelai yang menjadi bahan baku tempe tahu hanya di kisaran Rp 6.000 per kg. Namun saat ini, harga kedelai melonjak menjadi Rp 10 ribu per kg.
''Kenaikan harga terjadi secara bertahap sejak empat bulan terakhir. Kenaikannya terjadi hampir setiap Minggu,'' keluh Roheti, saat ditemui Republika di tempat usaha pembuatan tahu tempe miliknya di Blok Bungkul, Senin (22/2).
Roheti mengatakan, kenaikan harga kedelai itu sangat memberatkan para produsen tahu dan tempe. Sebab, mereka sulit untuk menaikkan harga jual tahu dan tempe kepada konsumen.
''Kalau menaikkan harga jual tempe dan tahu, kasihan konsumen. Mereka juga protes. Tapi kalau tidak menaikkan harga, kami bisa terancam gulung tikar,'' kata Roheti.
Hal senada diungkapkan seorang produsen tempe di Blok Bungkul, Sari. Dia mengaku sulit menjalankan usahanya jika harga kedelai terus naik, sementara harga jual tahu tempe tidak ikut naik.
Baik Sari maupun Roheti mengaku sangat tergantung dengan kedelai impor. Menurut mereka, kualitas kedelai impor lebih baik dibandingkan kedelai lokal.
''Kalau pakai kedelai lokal, hasilnya jadi kurang bagus. Kami malah rugi,'' kata Sari.