REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Sebanyak 10 warga Prancis yang bergabung dengan ISIS ditahan di Suriah mengajukan protes pemulangan. Tahanan yang keseluruhan perempuan itu memulai aksi mogok makan untuk memprotes penolakan Prancis untuk memulangkan mereka atau anak-anaknya.
Pengacara tahanan itu, Marie Dose dan Ludovic Riviere, mengatakan bahwa para perempuan itu harus diadili di Prancis. Selama lebih dari dua tahun mereka telah menunggu untuk diadili atas kegiatan yang telah mereka lakukan.
"Setelah bertahun-tahun menunggu dan tidak ada kemungkinan [dari] pengadilan (...) (para perempuan) merasa bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain tidak makan," ujar pernyataan bersama tersebut dikutip dari Middle East Monitor.
Dalam pesan audio yang dikirim ke keluarga para tahanan, para pengacara menambahkan, mereka mengatakan tidak tahan lagi melihat anak-anaknya menderita. Mereka ingin memikul tanggung jawab atas kegiatan yang telah dilakukan dan diadili di Prancis.
Hampir 80 perempuan asing yang bergabung dengan ISIS, bersama dengan 200 anak mereka, ditahan di kamp-kamp Suriah. Kamp tersebut dikelola oleh pasukan Kurdi yang didukung Amerika Serikat.
Komite Palang Merah Internasional yang bekerja di kamp Al-Hawl dan Rouge di timur laut Suriah, mengatakan anak-anak di tempat itu menderita kekurangan gizi dan penyakit pernapasan parah selama musim dingin. November lalu, Komite Hak-hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingatkan bahaya langsung bagi kehidupan anak-anak.
Menurut laporan PBB, anak-anak ditahan dalam kondisi sanitasi yang tidak manusiawi. Mereka pun telah kehilangan bahan makanan paling dasar.
Selama bertahun-tahun, Paris telah mengadopsi kebijakan kasus per kasus terkait kembalinya anak-anak ini. Sejauh ini baru 35 anak yang dipulangkan, sebagian besar yatim piatu.